37. Di Jarinya Masih Melingkar

15.5K 1.2K 8
                                    

"Dalam cinta, tidak semuanya berjalan mulus tanpa duri. Selalu ada luka, tangis, dan ujian. Namun, benarkah ini ujian atas cintaku?"
.
.
.
2RC

...

Siang itu, meski di bawah bentangan langit yang sedang terik hingga rasanya seakan berada di atas kepala. Namun, tak menyurutkan semangat dalam dirinya. Ali kembali melanjutkan misi itu. Mencari wanita yang tak lain istrinya. Jika ini adalah perjuangan untuk menguji cinta dan kesetiaannya. Maka akan ia lalui. Untuk Zahranya.

Ali mengambil kunci mobil dari saku kemejanya. Ia tidak akan menyerah. Bukankah selalu ada kemudahan bagi mereka yang berusaha. Namun, jika sampai hari ini wanitanya tidak ditemukan. Tidak ada pilihan lain selain memberitahu keluarga terutama umminya Zahra.

Benar. Keluarga istrinya belum mengetahui semua itu. Bahkan ketika mencari Zahra di rumah itu, ia harus bersandiwara. Seakan tidak pernah ada yang terjadi. Namun, setelah menemui umi Hasmia. Ia tahu sebelum pergi, Zahra sempat datang ke sana.

Sekali lagi, ia mengusap wajahnya. Setelah melangitkan doa, berharap hari ini pencariannya membuahkan hasil. Bersama kesulitan ada kemudahan, selalu kata itu yang ditanamkan dalam dirinya. Iya yakin bahwa Allah selalu bersamanya.

"Tunggu, Mas." Langkahnya terhenti ketika suara seseorang terdengar. Ia menolehkan kepala, menatap sekilas gadis yang kini berdiri di depannya. Entah mengapa ada rasa tak suka saat melihatnya.

Bukan tak suka lebih tepatnya rasa kurang nyaman mengingat yang terjadi belakangan ini.

"Boleh kita bicara sebentar." Ali mengembuskan napasnya kemudian mengangguk. Ia harus memberi gadis itu waktu, tidak bisa terus seperti ini. Ia harus berdamai dengan keadaan dan hatinya.

Ali berjalan lebih dulu dan duduk di teras rumah. Bukan tidak sopan, tapi tidak mungkin jika ia mengajak gadis itu ke dalam. Belum lagi istrinya tidak ada di rumah. Bukankah fitnah dan godaan terbesar seorang pria adalah wanita?

"Maaf." Satu kata yang membuat pria itu membeku. Ali menatap tak percaya bahwa gadis yang duduk di sampingnya mengatakan itu.

"Untuk semua yang terjadi. Ini salahku. Maaf." Gadis itu menunduk dengan tangan yang saling bertaut. Ali tahu tidak mudah memang, keberaniannya itu patut diacungi jempol.

"Cinta itu membuatku buta. Aku telah kalah karena enggan melepas cinta yang salah. Maaf karena aku telah membuat kalian seperti ini." Mendengar itu Ali hanya bisa diam. Kenyataannya ia tidak mungkin sepenuhnya menyalahkan gadis itu.

Sekarang situasinya memang serba salah. Bagaimanapun juga semua yang terjadi adalah jalan takdir? Jika tidak karena kecelakaan itu, mungkin ia tidak akan dipersatukan dengan Zahranya.

"Kita memang tidak bisa memilih kepada siapa hati itu jatuh cinta, tapi bukan berarti cinta itu harus terbalas dan kesalahanku adalah memaksakan takdir agar memihakku," lirih itu begitu lemah. Namun, masih terdengar jelas di telinganya.

"Sekarang aku telah memilih, Mas. Melepas cinta itu untuk sahabatku. Zahra tidak bersalah dan pantas untuk bahagia." Gadis itu kembali menghirup dalam-dalam udara di sekitarnya.

"Aku ikhlas. Aku mundur untuk menjadi yang kedua. Cinta itu seutuhnya milik Zahra." Jawaban itu memang terdengar penuh keyakinan. Namun, terlihat dari sudut matanya. Gadis itu menangis. Tangisan yang dengan cepat dihapus oleh tangannya.

Dua Rakaat CINTA [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang