"Jika hari ini, kamu membuat seseorang menangis. Mungkin esok, seseorang itu yang akan membuatmu tidak bisa tersenyum."
.
.
.
2RC...
Pagi ini. Lembaran langit tampak seputih susu, pada sebagian gumpalan awan yang begitu lembut. Selembut sutera. Jauh ribuan jarak di bumi sana, sesosok persona berdiri di antara jendela yang terbuka.
Hanya beberapa menit saja, ia terdiam. Setelah mengancingkan bagian tangan kemeja putihnya, langkah itu berbalik. Mengambil sesuatu di dalam laci. Sebuah bingkai foto berwarna abu-abu. Perlahan ia mengusap gambar itu lalu tersenyum.
Enam tahun bukanlah waktu yang singkat. Terlebih banyak hal yang telah berubah. Namun, sampai hari ini dan selamanya. Satu hal tidak akan berubah dalam hidupnya.
Sekali lagi, ia menatap bingkai itu sebelum beralih ke arlojinya. Sampai akhirnya ia keluar dari kamar. Sapuan angin menyapa wajah ketika kakinya berada di ambang pintu yang menghubungkan dengan halaman belakang rumah.
Senyum itu mulai terbit saat seseorang yang dicarinya tengah duduk di ayunan. Benar bukan dugaannya? Seperti biasa, sosok yang begitu ia cintai selalu ada di tempat yang sama.
"Zahra." Langkahnya terhenti. Pria itu berjongkok, menatap sepasang netra bening yang membulat sempurna. Bibir mengerucut membuatnya begitu menggemaskan. Lalu dalam satu tarikan napas, ia berucap.
"Namaku Zara, Abi. Alzara Nasya Al-Ghifari. Mengapa Abi selalu lupa?" Gadis kecil itu memalingkan wajah. Tangannya disilangkan di dada. Tak lama setelah itu suara isakkan terdengar.
"Zara marah sama Abi," lirihnya begitu pelan. Ali mengambil tangan mungil itu dan menggenggamnya erat. Menatap sepasang manik terang yang dipenuhi linangan di pelupuknya.
Pria itu menggeleng kemudian menghapus bekas tangis di wajahya. Tangannya menarik kedua sudut bibir itu hingga membentuk lekungan yang selalu ia sukai.
"Jangan nangis, anak abi itu kuat. Memangnya kenapa kalau abi panggil kamu Zahra? Itu kan nama--"
"Zara." Belum sempat pria itu melanjutkan kalimatnya. Suara lain menghentikan dan membuat keduanya menoleh.
"Bunda." Gadis kecil itu berlari lalu memeluk wanita yang berdiri di ambang pintu dengan seulas senyum di bibirnya. Netranya terpejam, menikmati dekapan hangat yang selalu ia rindukan.
"Bunda dari mana? Zara nunggu lama tadi," ucapnya sembari memajukan bibirnya beberapa senti. Wanita itu mencubit pipi menggembung lalu membawanya ke dalam rumah.
"Maafin bunda ya. Tadi bunda beli sesuatu dulu untuk puteri kecil bunda ini." Wanita itu membuka tasnya dan mengambil sesuatu di dalam sana kemudian memberikannya pada Zara.
"Coklat lagi, Bunda?" tanya polos itu keluar begitu saja membuat wanita di depannya tertawa lepas. Ternyata puteri kecil itu sudah bisa menebak kebiasaannya yang suka memberi silverqueen.
"Kenapa? Gak suka ya?" Wajah itu pura-pura sedih dan kembali memasukan coklatnya ke dalam tas.
"Suka kok, Bunda." Zara kecil mengambil coklat itu dan memeluknya. Senyum manis kembali terlukis di wajah putihnya. Senyum yang menjadi penawar luka bagi siapa saja yang melihatnya.
"Tapi kata abi jangan sering makan yang manis karena Zara sudah manis. Iya kan Abi?" Jawaban polosnya membuat kedua orang dewasa itu tertawa. Ah, Zaranya memang manis.
"Oh iya, Bunda. Perut bunda lucu deh kayak balon. Kapan adik kecil Zara lahir?" Wanita itu mengusap puncak kerudung puteri kecilnya. Mengapa sahabatnya mempunyai puteri kecil yang menggemaskan seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Rakaat CINTA [Selesai]
Espiritual"Pernikahan bukan sebuah permainan, Mas!" Gadis itu tidak bisa menyembunyikan kemarahannya. Ah, tidak. Lebih tepatnya rasa kecewa, tetapi untuk alasan apa? Apakah karena perkataan pria itu atau takdir yang seakan mempermainkannya. Dialah Arnaina Naf...