"Dua tentara yang tak terkalahkan adalah hati yang ikhlas dan doa yang tulus."
-Ibnu Taimiyyah-
.
.
.
2RC...
Zahra berdiri di depan rumah yang sudah lama tak dikunjunginya. Pagar bercat putih itu masih sama seperti sebelumnya. Saat dirinya masih tinggal. Perlahan ia masuk, netranya menelanjangi halaman yang dipenuhi rerumputan hijau.
Rindu itu kembali. Menembus lubuk hati sehingga menciptaka desiran menyesakkan. Teringat manisnya masa kecil yang selalu mengukirkan senyum, serta tangis yang sirna hanya karena sebuah hadiah dan lolipop.
Dulu, kehidupannya sederhana. Ia hanya perlu bermain dan belajar. Tidak perlu memikirkan masalah yang tiada henti atau sekedar merasakan jatuh cinta. Karena percalah, cinta itu sungguh tak seindah bayangan.
Kasih sayang dari ummi dan abi sebenarnya lebih dari cukup.Ingin rasanya kembali ke masa itu. Di mana tak pernah ada luka yang begitu kentara. Namun, kenyataannya waktu tidak bisa terulang. Ternyata dewasa tidak semenyenangkan itu sebab menjadi kecil tetaplah yang terbaik. Ah, Zahra. Sekali lagi, ia menangis.
"Zahra. Kamu di sini, Nak?" Suara itu terdengar membuat Zahra segera menghapus air mata. Ditatapnya lekat wanita yang berdiri di ambang pintu.
Ada rasa yang tak bisa didefinisikan ketika melihat wanita itu mulai menua. Zahra berlari dan berhambur ke pelukan umminya. Sungguh, hanya dengan memeluknya Zahra merasa lebih baik.
"Kenapa gak kasih tahu ummi kalau mau datang?" Zahra melepas pelukannya.
"Ah, itu ummi. Zahra rindu, Ummi." Sebisa mungkin ia mencoba tersenyum. Ia tidak ingin memperlihatkan kesedihan di depan wanita yang telah melahirkannya.
Biarlah hanya dirinya karena sungguh semua ini bukan sepenuhnya tentang rindu. Namun, tentang perpisahan yang semakin nyata. Jarak itu sebentar lagi akan tampak jelas.
"Ummi juga rindu. Bagaimana kabar puteri kecil ummi sekarang?"
"Seperti yang ummi lihat. Alhamdulillah Zahra baik-baik saja. Kabar Ummi?" Meskipun bibir melukiskan senyum, hatinya tetap merasa bersalah. Bersalah karena ia tidak bisa berkata jujur.
Oh, Allah. Maaf karena harus berbohong. Kenyataannya ia tidak baik-baik saja. Luka ini begitu nyata. Namun, apa yang bisa ia lalukan. Semoga Allah memaafkannya kali ini.
"Ummi selalu baik. Apalagi melihat puteri kecil ummi sekarang sudah besar. Lihatlah kamu sedikit gendutan." Zahra membeku, tak tahu harus bereaksi apa saat ummi Hasmia berbicara seperti itu. Ia hanya mengikuti langkah umminya dari belakang.
Bagaiama jika umminya tahu kalau ia sedang mengandung? Tidak, jangan sekarang.
"Kamu pasti bahagia dengan pernikahan ini bukan?" Zahra mengangguk meski sedikit ragu. Iya, benar. Dirinya ragu apakah ia bahagia atau tidak. Sejujurnya pernikahan ini lebih banyak memberi luka dari pada bahagia.
"Oh iya, Nak. Suamimu tidak ikut?" Baru saja tubuhnya terduduk, ia kembali dibuat bungkam. Bagaimana caranya menjelaskan. Jangankah ikut, pria itu bahkan tidak tahu bahwa ia di sini.
"Itu-- tadi Mas Ali ada jadwal pagi, jadi sudah duluan." Ya Allah, ternyata benar. Satu kebohongan hanya akan membentuk kebohongan yang lain. Maafkanlah dirinya, sungguh ia tidak berniat seperti itu.
"Abi di mana, Ummi?" Mengalihkan pembicaran, itulah yang dilakukannya. Tidak ingin umminya terus bertanya sehingga ia tidak perlu menjawab dengan kebohongan yang lain.
"Biasa. Abi kamu ikut kajian di masjid sebelah. Kamu rindu ya?" Zahra mengangguk cepat. Ah, sekarang ia bahkan lebih rindu. Kira-kira seperti apa abi saat ini, apakah ia juga mulai menua seperti umminya? Sungguh, sampai saat ia belum bisa berbakti pada keduanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Rakaat CINTA [Selesai]
Spiritual"Pernikahan bukan sebuah permainan, Mas!" Gadis itu tidak bisa menyembunyikan kemarahannya. Ah, tidak. Lebih tepatnya rasa kecewa, tetapi untuk alasan apa? Apakah karena perkataan pria itu atau takdir yang seakan mempermainkannya. Dialah Arnaina Naf...