44. Mengukir yang Hilang

14K 1K 2
                                    

"Ikhlaslah dalam usaha menggapai tujuan, maka kamu akan mendapati bantuan Allah di sekelilingmu."
-Ibnu Qayyim-
.
.
.
2RC

...

Di halaman belakang rumah, Zahra berada. Masih dengan memegang selang air, ia menyirami tanaman yang mulai layu. Ah, bukan layu lagi. Hampir semua bunga-bunganya mati. Semenjak ia pergi, taman itu sepertinya tidak terawat.

Zahra mengusap dahinya yang berkeringat. Sudah satu jam ia memperbaiki tamannya. Bukan memperbaiki, lebih tepatnya hanya merapihkan sedikit-sedikit. Dengan kondisi seperti ini, ia memang tidak boleh terlalu lelah. Namun, sekarang setidaknya taman ini sudah lebih baik dari sebelumnya. Meski masih ada beberapa yang harus ia lakukan.

Seperti di sebelah sana. Di bawah pohon itu, ia akan membuat ayunan kayu. Lalu di sampingnya, tempat duduk yang juga terbuat dari kayu dan di depannya taman dan kolam ikan. Sungguh, indah bukan? Namun, ia bahkan masih belum menyelesaikan setengahnya.

"Ada apa, Mas?" Suara itu menghentikan sosok yang baru saja akan mengejutkannya. Pria itu menatap tak percaya. Sebisa mungkin, Zahra menahan tawa. Ia tidak ingin membuat suaminya malu.

"Mengapa kamu bisa tahu saya ada di belakangmu?" Pria itu mengusap tengkuknya. Bagaimana bisa wanita itu mengetahui keberadaannya bahkan saat ia berdiri membelakangi. Sekarang gagal sudah rencananya. Padahal ia ingin sekali mengejutkan Zahranya.

"Itu, di air." Tunjuknya pada genangan air yang berada tepat di sampingnya. Benar di sana, terlihat ia dan suaminya. Ah, memalukan sekali.

"Bayangannya tidak begitu jelas. Bisa saja itu bukan saya." Zahra mengerutkan kening. Meski sudah tertangkap basah, pria itu masih saja mengelak. Ia menggeleng pelan. Ada-ada saja kejahilannya.

"Memangnya kalau bukan Mas, siapa lagi? Hantu. Itu lebih tidak mungkin bukan?"

Raut terkejut di hadapannya membuat Zahra benar-benar tak bisa menahan tawa. Ia mengangkat jari telunjuk dan tengahnya, masih dengan gurat senyum menggelikan. Kali ini, semoga ia tidak berdosa karena menertawakan suaminya.

Sungguh, ia tidak bisa menahannya. perutnya benar-benar seperti digelitiki angin.

"Istri saya sungguh menggemaskan, tapi kamu gak boleh banyak gerak. Kamu itu baru lahiran." Zahra mengaduh. Tawa itu berubah menjadi ringisan kecil saat pria itu mencubitnya keras.

"Jangan dicubit. Sakit tahu. Aku udah gapapa, beneran deh. Sebenarnya Mas mau apa kemari?" Ia mengusap pipinya yang memerah dan juga panas. Zahra membalikkan badan dan kembali menyiram air. Mengabaikannya.

"Saya hanya ingin membantumu. Apakah seorang suami tidak boleh membantu istrinya?" Tangannya tergenggam. Zahra bergunam dalam hati. Suaminya itu ingin membantu? Ia bahkan hanya merecokinya saja.

"Sebentar lagi juga selesai. Memangnya Mas mau bantu apa?" Baru saja kalimatnya terhenti.

"Doa." Ia menatap kesal saat mendengar satu kata itu. Ia pikir pria itu bersungguh-sungguh, tapi lihatlah? Zahra mengerucutkan bibir, di detik yang sama tangannya terangkat dan air melesak keluar dari selangnya.

"Istri saya sekarang sudah mulai berani." Pria itu menghindar kemudian menyilangkan kedua tangannya. Tatapan tajam bak elang itu membuat Zahra memundurkan langkah.

"Makanya jadi suami jangan bikin istrinya kesal, Mas. Eh, Jangan mendekat atau--"

"Siram saja, Zahra. Jika saya basah kamu juga pasti tahu akibatnya." Bukannya menjauh, langkah itu justru semakin mendekat. Senyum seringai itu membuatnya meremang. Hingga untuk kedua kali, bulir bening itu berjatuhan mengenai pria di depannya.

Dua Rakaat CINTA [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang