"Jangan pernah membuat keputusan dalam kemarahan dan jangan pernah membuat janji dalam kebahagiaan."
-Ali bin Abi Thalib-
.
.
.
2RC...
Langit pagi ini berbeda dari biasanya. Bukan hanya karena kicauan burung yang hinggap di tangkai kecil atau tetes embun jatuh ke tanah. Namun, lebih dari itu. Hari ini, dua raga telah menemukan cintanya. Setelah melewati fase yang begitu berat.
Beberapa menit setelah kesadarannya. Perlahan ia bangkit, menyandarkan tubuh pada ranjang rumah sakit. Begitupun dengan pria yang juga ikut membantunya.
Netra keduanya kembali bertemu. Menjadikan satu sama lain sebagai objek. Menyelami dalamnya rasa yang saling bergejolak. Tidak ada kecanggungan yang sebelumnya terpikir karena lewat tatap mereka saling bertanya kabar. Menyalurkan rindu yang sudah tertumpah ruah. Dadanya sesak hingga pelupuk itu mulai menganak.
"Bagaimana keadaan Mas?" Air matanya kembali jatuh. Ah, bagaimana ia bisa kuat melihatnya.
Pria itu? Kepalanya dilingkari perban dengan satu tangan terbalut gips. Belum lagi kruk yang digunakan untuk menyangga bagian kiri kakinya. Ia menahan isakkan dari bibirnya. Betapa menyedihkan. Hampir seluruh tubuh itu terluka karenanya.
"Maaf, Mas. Jika saja Zahra tidak lari mungkin semua ini--" Ali menggeleng pelan. Meski sulit, tangan itu mencoba menghapus tangisnya. Tidak membiarkannya melanjutkan pembicaraan.
"Apakah kamu baik-baik saja?" Sekali lagi, kedua manik itu saling bertaut. Ia mengangguk pelan. Sungguh, Zahra semakin tak bisa menahan tangis. Di saat seperti ini, pria itu masih memikirkannya. Bahkan saat dirinya sendiri baru selesai operasi.
"Tidak, jangan menangis seperti ini. Zahra saya itu kuat." Semakin pria itu berkata. Rasanya ia semakin tidak bisa menahan tangis. Namun, sebisa mungkin ia mencoba tersenyum.
"Nah seperti itu lebih baik. Di mana sosok kecil kita?" Jantungnya mendadak berhenti berdetak. Kalimat itu membuatnya tersadar. Zahra meraba perut yang sudah kembali seperti semula. Ah benar. Mengapa ia melupakan sosok mungilnya.
"Ah, tidak. Ini sungguh tidak adil, Zahra. Mengapa kamu memisahkan seorang anak dengan ayahnya?" Hatinya mencelos. Ia mendongkak, menatap manik sendu yang menyiratkan banyak tanda tanya. Suara itu terdengar putus asa.
"Kamu curang, Zahra. Tujuh bulan dia bersamamu sementara saya sendiri. Apakah kamu tidak tahu bagaimana rasanya?" Bagai tamparan keras. Zahra merasa tertohok. Desiran perih itu menyesakkan dadanya.
"Maaf, Mas. Zahra tidak memberitahukannya bahkan pergi tanpa izin. Zahra hanya tidak ingin menjadi penghalang ...." ia menjeda kalimatnya. Rasanya sulit. Air mata itu terus saja melesak.
Zahra memejamkan mata. Ia kembali tergugu, tangis itu semakin tak bisa dicegah. Kenyataannya ia hanya tidak ingin menjadi penghalang suaminya dan Syifa. Meski ia juga tidak tahu mengapa bisa sampai setega itu.
"Mengapa kamu menyembunyikan hadiah termanis ini, Zahra?" Bisikan itu tetap di telinganya. Zahra mematung. Laju air matanya terhenti.
"Mas tidak marah?" Pria itu menggeleng pelan bersamaan dengan seulas senyum di bibirnya. Ah, mengapa ia mempunyai suami sebaik ini. Ia jadi semakin merasa bersalah.
"Tapi jangan seperti ini lagi ya. Tak tahukah, saya sangat-sangat merindukanmu. Saya tidak bisa kehilanganmu lagi." Zahra mengangguk cepat. Lagi dan lagi, ia menangis. Tidak hanya dirinya, pria itu juga menjalani hidup yang sama perihnya.
Ia benar-benar telah berdosa dan keputusannya adalah kesalahan. Namun, sekarang bagaimana hubungan pria itu dan sahabatnya? Apakah kepergiannya telah benar-benar menyatukan kedua orang itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Rakaat CINTA [Selesai]
Spiritual"Pernikahan bukan sebuah permainan, Mas!" Gadis itu tidak bisa menyembunyikan kemarahannya. Ah, tidak. Lebih tepatnya rasa kecewa, tetapi untuk alasan apa? Apakah karena perkataan pria itu atau takdir yang seakan mempermainkannya. Dialah Arnaina Naf...