"Tidak ada sesuatu yang paling disukai oleh setan, melainkan melihat seorang mukmin berhati murung."
-Ibnu Qayyim-
.
.
.
2RC...
Waktu terus berputar, membentuk poros dalam goresan pahit dan manisnya kehidupan. Pada setitik tinta, fase-fase itu mulai berganti. Begitu pula dengan Zahra. Perlahan semuanya kembali baik-baik saja. Namun, sampai saat ini hanya satu yang tidak pernah berubah.
Rasa cinta dan kerinduannya yang ia pupuk hingga menumpuk.
Hari ini, masih seperti biasanya. Setelah menunaikan salat magrib, ia keluar dari kamar. Perlahan kakinya melangkah menuruni satu persatu anak tangga menuju dapur. Dengan penuh kehati-hatian ia berjalan, mengingat perutnya yang sudah semakin membesar.
"Zahra, hati-hati Nak. Ayo duduklah. Kenapa ke sini? Kamu harusnya istirahat saja." Baru saja ia menginjakkan kaki di dapur, suara yang begitu dihapalnya langsung terdengar. Begitulah Nin Haji, ia terlalu berlebihan dalam menjaganya.
"Minumlah ini. Nin baru saja mau ke kamar memberikannya." Zahra duduk dan mengambil secangkir susu. Seulas senyum menghiasi wajahnya. Ia menatap wanita yang duduk di sampingnya.
"Terima kasih, Nin. Seharusnya Zahra yang melakukan itu untuk Nin, bukan sebaliknya." Selalu saja. Nin Haji selalu mengelus kepalanya pelan membuat Zahra merasa sangat nyaman.
"Nak Zahra." Zahra mengalihkan pandangan, menatap wanita berumur itu. Kembali disimpannya cangkir berisikan susu coklat itu di meja.
"Apakah kamu tidak merindukan keluargamu? Abi, umi, dan suamimu." Zahra tersedak meski kini sedang tidak meminum apapun.
Pertanyaan yang barusan dilontarkan Nin Haji membuatnya membisu. Sudah berbulan-bulan tinggal dan setelah kejadian lamaran tempo hari, pertama kalinya wanita itu kembali mengungkit-ungkit masalah itu.
"Hati-hati, Nak. Maaf, Nin tidak bermaksud apapun." Nin Haji mendekat dan memijat tengkuknya. Zahra menggeleng. Tidak, ia sama sekali tidak tersinggung dengan perkataannya. Namun, perkataan tadi membuatnya terkejut dan sesak.
Bagaimana mungkin ia tidak merindukan mereka? Abi, umi, ia sangat merindukannya. Mereka pasti sangat sedih, entah bagaimana keadaanya sekarang. Putri kecil yang mereka banggakan, telah membuatnya kecewa. Ia hanya berharap keduanya baik-baik saja, tanpanya.
Jika terjadi sesuatu pada mereka, Zahra tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri. Satu hal lagi, ia juga sangat merindukan ... suaminya.
"Sudah berbulan-bulan kamu di sini, Nak. Apakah tidak ingin pulang?" Nin Haji membawa tangannya dalam genggaman. Zahra tertunduk, menahan rasa sesak yang menyelinap tanpa permisi.
"Bukankah pergi tanpa izin suami itu tidak baik? Nin sudah pernah memberitahu itu sebelumnya. Rumahmu adalah surgamu."
Zahra semakin tertunduk. Benar, iya tidak mungkin melupakan nasihat Nin Haji beberapa bulan lalu. Hatinya kembali gusar. Tidak bisa menolak kenyataan bahwa ia bersalah.
Apakah ia bukan termasuk istri yang shalihah karena meninggalkan rumah tanpa seizin suami?
"Zahra takut, Nin. Zahra belum siap bertemu dengannya," cicitnya. Masih dengan kepala tertunduk, ia berkata. Rasanya sulit. Ia selalu berada di ambang ketakutan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Rakaat CINTA [Selesai]
Spirituale"Pernikahan bukan sebuah permainan, Mas!" Gadis itu tidak bisa menyembunyikan kemarahannya. Ah, tidak. Lebih tepatnya rasa kecewa, tetapi untuk alasan apa? Apakah karena perkataan pria itu atau takdir yang seakan mempermainkannya. Dialah Arnaina Naf...