"Jangan katakan kepada Allah aku punya masalah besar, tapi katakanlah kepada masalah bahwa aku mempunyai Allah yang Maha Besar."
(Ali bin Abi Thalib r.a)
-2RC-...
Hari mulai malam dan langit berubah kelabu, meskipun begitu tempat ini tak pernah sepi pengunjung.
Ruangan berwarna putih dengan bau khas obat-obatan terpampang, dilapisi kaca bening yang menampakkan keadaan pria paruh baya di dalam sana. Kabel-kabel memenuhi sekujur tubuhnya disertai alat bantu pernapasan dan monitor yang menampilkan grafik naik turun jantungnya.
Zahra teringat seseorang, sosok yang belum terlihat sejak sore kedatangannya hingga menjemput malam. Ke mana pria itu dan bagaimana keadaannya? Pikirnya.
"Zahra!" Sentuhan di pundak menyadarkannya dari lamunan, Syifa tersenyum hangat kemudian menggenggam erat tangannya.
"Mereka udah nunggu, kita ke sana sekarang yuk." Syifa membawa Zahra ke arah tiga wanita paruh baya yang sedang berbincang dengan Ainun. Mereka tak lain adalah Ustadzah Maryam, Ummi Hana yang merupakan umminya Ainun, dan Ummi Salamah.
Ummi Hana datang menggunakan gojek setelah mendapat telpon dari Ummi Salamah. Mereka memang sudah saling mengenal bahkan bisa dikatakan mereka adalah sahabat semasa kuliah, itulah mengapa Ummi Hana langsung datang ke rumah sakit.
Sementara, Ustadzah Maryam datang bersama Ustadz Malik setelah diberi tahu oleh Wildan tadi siang, tapi karena ada urusan Ustadz malik lebih dulu pulang.
Mereka bergantian memeluk Ummi Salamah cukup lama, apalagi Ainun. Ia masih bermanja-manja dengan wanita itu, membuat Zahra merasa iri akan kedekatan mereka. Zahra merasa tak ada apa-apanya untuk menjadi bagian dari mereka dan lagi ia memang bukan siapa-siapa.
"Ummi, Syifa pamit pulang. In syaa Allah nanti mampir lagi," ucap Syifa sebelum akhirnya memeluk Ummi Salamah. Jangan aneh jika Syifa memanggil wanita itu dengan sebutan Ummi, itu karena keinginan Ummi Salamah sendiri.
"Jazakillahu khairan katsiron. Makasih karena kalian udah mau repot-repot datang ke sini, pake bawa kue segala."
"Wa iyyaki, Ummi. Kebetulan kita lagi belajar buat cupcake, Alhamdulillah kalau Ummi suka." Syifa melepaskan pelukannya, tersenyum hangat.
"Ummi, Zahra juga pamit pulang. In syaa Allah kullu khoiir, Aamiin. Ummi yang sabar." Zahra memeluk Ummi Salamah, wanita itu kembali menangis.
"Aamiin. In syaa Allah, Shalehah. Makasih doanya." Setelah tangisnya mereda, Zahra melepaskan pelukannya.
"Nak Zahra sama Nak Syifa nanti pulangnya gimana?" Ummi Hana mengingatkannya kembali. Zahra hampir lupa, kedatangannya bersama Syifa karena ikut Mas Wildan dan Ainun. Sekarang ada Ummi Hana dan Ustadzah Maryam, jadi tak mungkin lagi ikut bersama mereka.
"Kita pulangnya naik angkutan umum aja, Ummi." Syifa menjawab keraguan semua orang.
"Mbak serius? Ini udah malam loh, Ai takut ada apa-apa."
"Jangan khawatir, Ai. Bi idznillah, kita gapapa." Zahra mencoba menenangkan Ainun.
"Kalau ada apa-apa, langsung kabari Ai. Oke!" Syifa mengacungkan dua jempolnya pada Ainun.
"Ustadzah jadi gak enak sama kalian karena pulang naik angkutan umum." Kali ini Ustadzah Maryam yang berbicara.
"Gapapa, Ustadzah. Sekalian Zahra sama Syifa mau salat isya dulu di masjid sana."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Rakaat CINTA [Selesai]
Spiritual"Pernikahan bukan sebuah permainan, Mas!" Gadis itu tidak bisa menyembunyikan kemarahannya. Ah, tidak. Lebih tepatnya rasa kecewa, tetapi untuk alasan apa? Apakah karena perkataan pria itu atau takdir yang seakan mempermainkannya. Dialah Arnaina Naf...