"Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baiknya perhiasan adalah istri yang salehah."
(HR. Muslim)
.
.
.
2RC...
Hawa dingin menyelusup kulit. Di antara sepertiga malam yang membuat lengkungan bibirnya semakin melebar. Zahra memakai mukena putih polos itu. Rona merah masih kentara menghiasi wajahnya.
Sekali lagi, ia memegang dadanya. Debaran itu belum juga sirna. Bahkan semakin bertalu-talu. Ribuan syukur ia langitkan pada Sang Ilahi Rabbi. Pembolak-balik hati setiap insani. Zahra percaya, selalu ada hikmah di balik ujian. Seperti saat ini.
Pria itu benar-benar telah menerima ia seutuhnya sebagai seorang istri. Bukan lagi sekedar pernikahan atau ikatan di atas kertas.
Perlahan ia bangkit, merapihkan mukena yang dipakainya. Zahra melirik jam yang bertengger di dinding. Rasa ini tidak boleh membuatnya lalai, hanya karena cinta pada manusia. Bukankah semua ini adalah pemberian-Nya?
Setelah mengembuskan napas, ia mengucap takbir. Namun, seseorang menggelarkan sajadah di depannya. Zahra terkejut. Tanpa kata atau pun suara, pria itu membuat hatinya bergemuruh hebat. Hanya dengan seulas senyum yang menjadi sapanya.
Allahu Akbar. Pria itu mengangkat kedua tangannya. Zahra mengikutinya dengan haru yang melebur satu. Bahkan setetes jatuh membasahi pipinya. Tak pernah terbayang sebelumnya. Pria itu akan menjadi imam dalam tahajudnya dan ia berdiri di belakang sebagai makmum halalnya.
Dalam dua rakaat cinta yang semakin mendekatkan dirinya pada-Nya. Menyingkap tabir yang membentang. Bersamanya, surga terasa lebih dekat.
Setelah selesai, Zahra menyalami dan pria itu mencium keningnya lama. Tangan itu mengusap kepalanya yang masih tertutup mukena kemudian membacakan doa.
"Allahumma inni as'aluka min khairiha wa khairi ma jabaltaha a'laihi wa'audzubika min syarriha wa syarri ma jabaltaha a'laihi."
(Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu kebaikan dirinya dan kebaikan yang Engkau tentukan atas dirinya. Dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukannya dan keburukan yang Engkau tetapkan atas dirinya).
Nerta itu kembali bertemu. Namun, kali ini tak ada yang saling memutuskan sepihak. Hanya ada senyuman dan senyuman. Hingga tanpa kata, pria itu kembali memeluknya.
"Terima kasih telah bersabar, Zahra. Meskipun itu sulit." Jantungnya kembali di atas rata-rata. Ah, selalu saja. Mengapa sampai hari ini, Zahra selalu merasa gugup.
"Zahra, itu wajahmu?" Suara itu mengejutkannya. Dengan cepat, ia mengusap-ngusap wajahnya.
"Hah, kenapa?" Bukan jawaban yang di dapatkannya, pria itu malah tertawa. Zahra mengerucutkan bibirnya kesal. Bisa-bisanya ia telah dikerjai.
"Istriku kalau sedang merona, menggemaskan." Pria itu mencubitnya. Zahra tersentak. Apa yang dikatakan sekaligus perlakuan itu membuatnya berkali lipat malu. Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangan.
"Ana Uhibbuki Fillah, Zahra."
Oh, Allah. Pengakuan cinta itu begitu manis di telinganya. Cinta yang menjadikan Sang Pemilik hati sebagai saksinya. Namun, Zahra hanya mampu membalasnya dalam hati.
'Ana uhibbuka Fillah, imam surgaku.'
...
Kemilau jingga mulai terbit menghiasi bentangan semesta biru. Tepat ribuan meter di bumi sana, kedua langkah itu saling beriringan. Melengkapi setiap pijakan dengan senyuman.
Zahra melapaskan genggaman tangan suaminya. Bukan apa-apa. Meskipun mereka sudah menikah, tetap saja malu jika seperti ini. Apalagi sekarang ia berada di kampus.
Keduanya terhenti dan memilih duduk di taman kampus. Sesekali menyunggingkan senyum ketika bersitatap dengan beberapa orang yang dikenalnya. Pria itu memang mengajak Zahra datang lebih awal dari jadwal kelasnya.
"Cincin yang cantik." Masih dengan menatap benda yang melingkar di jari manisnya, Zahra berucap. Sebenarnya ia hanya mencari alasan ketika pria itu hendak memegang tangannya.
Cincin itu adalah pemberian pria di sampingnya setelah akad selesai. Baru hari ini, ia berani memakainya. Dulu, jangankan memakainya. Melihatnya saja membuat Zahra merasa tak pantas. Namun, sekarang kenyataannya ia adalah istri sah dari pria itu.
Bukan hanya dalam hukum, tapi juga agama. Ia berhak atas cincin maupun cinta dari Ali, suaminya.
"Lebih cantik istri saya." Zahra membeliak. Tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. Ternyata pria itu bisa juga menggodanya dengan rayuan receh.
"Mas, apa sih? Gak lucu." Zahra mengalihkan pandangan. Lebih tepatnya menyembunyikan wajah yang terasa panas. Bagaimanapun juga wanita jika dipuji sedikit saja langsung meleleh.
"Saya serius. Bukankah sebaik-baiknya perhiasan dunia adalah istri yang salihah?"
"Berarti Zahra istri yang salihah?" Maniknya berbinar. Percayalah Zahra sangat bahagia. Hanya dengan panggilan sederhana itu, hatinya berbunga-bunga. Memangnya siapa yang tidak ingin menjadi istri salihah?
"Iya, juga cantik." Sekali lagi, ia benar-benar tak bisa menyembunyikan senyum. Perutnya bagai dikerubungi kupu-kupu menggelikan. Sekarang, Zahra yakin bahwa pria itu memang raja gombal.
"Teruslah tersenyum seperti itu Zahra, saya menyukainya." Zahra dibuat tersipu. Jantungnya kembali berolahraga. Kalimat itu membuatnya semakin meleleh seperti coklat yang terkena panas.
Zahra menunduk. Sebisa mungkin ia mencoba biasa saja. Padahal di dalam sana berbanding terbalik. Sungguh, pria itu berkali-kali membuatnya seakan terbang.
Suara deheman berhasil membuat keduanya terhenti dan mengalihkan pandangan ke sumber suara. Zahra terkejut melihat pria di depannya. Pria yang entah sejak kapan berada di sana. Seketika rasa bersalah kembali hadir. Bagaimanapun juga sosok itu pernah mencintainya.
"Ali. Ada yang ingin saya bicarakan." Tak ada angin atau pun hujan, tanpa pula berbasa-basi. Pria itu mengucapkannya. Pria yang tak lain adalah Wildan.
"Ada apa?" Ali menjawabnya. Nada suaranya pun berubah. Terdengar datar dan dingin. Mungkinkah suaminya itu masih cermburu atau ada hal lainnya?
Zahra merasakan suasana berubah tegang. Entah perasaan saja atau memang itulah kenyataannya, ia tidak tahu. Seolah kedua orang itu tengah berperang lewat tatapannya yang menakutkan. Mereka seperti bukan sahabat, tapi musuh.
Astagfirullah. Tidak Zahra, semua itu tidaklah benar.
"Tidak di sini." Suaminya itu mengangguk. Zahra merasakan ada sesuatu yang tak ia ketahui. Namun, apakah semua ini menuangkut dirinya?
"Baiklah. Duluan, Wil." Setelah mendapat persetujuan, Wildan memilih untuk pergi. Meninggalkan mereka berdua. Sebelum pergi, Ali menatap gadis yang masih duduk di tempatnya.
"Saya harus pergi. Hati-hati dan jaga hati untuk saya." Zahra kembali dibuat tersipu oleh kalimat yang diucapkannya. Sederhana, tapi mampu membuatnua terpana.
Pria itu tertawa kecil sebelum akhirnya mengusap kerudungnya hingga sedikit berantakan.
"Assalamualaikum." Zahra menjawab salamnya. Menatap punggung kokoh yang mulai menjauh dari jangkauan.
Zahra tak tahu bagaimana hubungan kedua pria yang tak bersahabat itu. Setelah pernikahan tak terduga, ia tak pernah lagi melihat mereka bersama atau sekedar terlibat perbincangan.
Zahra jadi bertanya-tanya. Apakah suaminya tahu tentang perasaan Wildan atau proposal taaruf yang diberikan padanya? Lalu tentang bagaimana perasaan Wildan ketika sahabatnya akan menikah dengan gadis yang dicintainya.
Sejujurnya, banyak yang ingin ditanyakannya. Namun, tidak. Zahra masih tidak seberani itu. Masalah ini adalah antata dua orang sahabat. Ia yakin mereka bisa menyelesaikannya dengan dewasa.
Zahra hanya berharap semua akan baik-baik saja. Untuk kesekian kalinya, semoga tidak ada luka lagi.
Baik itu sekarang atau pun selamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Rakaat CINTA [Selesai]
Espiritual"Pernikahan bukan sebuah permainan, Mas!" Gadis itu tidak bisa menyembunyikan kemarahannya. Ah, tidak. Lebih tepatnya rasa kecewa, tetapi untuk alasan apa? Apakah karena perkataan pria itu atau takdir yang seakan mempermainkannya. Dialah Arnaina Naf...