"Jangan biarkan kesulitan membuatmu gelisah karena bagaimanapun juga hanya di malam yang paling gelaplah, bintang-bintang tampak bersinar lebih terang."
-Ali bin Thalib-
.
.
.
2RC...
Semua berubah. Semenjak hari itu, tak pernah ada lagi sapa atau sekedar senyum. Mereka kembali menjadi orang asing yang tinggal dalam satu atap. Hanya itu saja, lebih tepatnya tak ada lagi yang tersisa.
Zahra tak tahu harus bagaimana. Tak hanya hatinya, tapi mungkin pernikahan ini juga di ujung tanduk. Pria itu dengan terang-terangan memperlhatkan ketidaksukaannya.
"Mas." Pria itu menuangkan air ke dalam gelas tanpa memerdulikan Zahra di sampingnya. Sungguh, keterdiaman Ali membuat dirinya terpukul. Putus asa.
Ini sudah malam ketiga di mana pria itu tetap mendiamkannya. Zahra benar-benar prustrasi. Cara apa lagi yang harus dilakukan agar bisa meyakinkan Ali bahwa dirinya tidak melakukan itu.
"Tidak baik seorang muslim marah atau mendiamkan muslim lainnya melebihi tiga hari." Pria yang baru saja akan pergi dari dapur itu terhenti. Netranya berbinar ketika Ali membalikkan badan, ada harapan yang besar di hati Zahra.
Zahra mendekat, berusaha meraih tangan yang sudah lama tak tersentuh itu. Ada kemajuan, setidaknya Ali mau mendengarkannya. Ia mengembuskan napasnya dalam-dalam.
"Beri sedikit saja waktu untuk menjelaskan. Sungguh, Zahra tidak pernah melakukannya." Zahra menghapus air mata yang entah kapan mulai menetes.
"Semua ini tidak seperti yang Mas bayangkan. Kenyataannya semua tidak--"
"Lalu apa yang harus saya bayangkan, Zahra!" Tatapan itu mengarah padanya. Nada bicara yang naik beberapa oktaf membuatnya membisu. Zahra sudah siap jika Ali akan memarahinya. Ia akan menerima semua itu.
Sungguh, ia merindukan suara suaminya. Keterdiamannya belakangan ini membuat Zahra seakan mati rasa. Lebih menyakitkan dari pada kalimat memohoknya.
"Maaf karena tidak pernah jujur. Benar, Zahra mencintai Mas sudah sejak lama." Zahra mengembuskan napasnya. Menjeda kalimatnya. Sungguh, berat beban yang ditanggungnya.
"Tapi percayalah, Mas. Zahra tidak melakukan itu--"
"Kamu minta saya percaya?" Suara itu meremehkan. Senyum manis yang biasa selalu ditampilkannya berubah menjadi seringai sinis.
"Lalu jika bukan kamu siapa? Apa kamu bisa menjawabnya, Zahra?" Zahra diam, menunduk dalam. Bibirnya seolah bungkam. Ia memang tidak tahu siapa yang telah melakukannya. Namun, sungguh bukan dirinya.
"Apa kemarahan Mas terlmoau besar? Maaf, Mas." Pria itu tetap tidak bisa mempercayainya. Bagaimana lagi caranya menjelaskan?
"Saya tidak marah padamu, tapi kecewa. Kamu membuat semuanya menjadi rumit." Zahra membeku. Suara itu berubah melunak, tapi sarat akan kepedihan. Benarkah semua ini bermula darinya?
"Kamu tahu? Saya tidak pernah ingin menyakiti wanita. Kamu ataupun Syifa, saya tidak ingin berlaku tidak adil." Zahra tak tahu lagi. Hatinya bagai diremas-remas, hingga bernapas saja rasanya sesak. Ia tahu pria itu juga dalam dilema besar, kekecewaannya itu sangat beralasan.
"Saya pikir telah membuatmu mengalami ketidak adilan karena pernikahan ini, tapi kenyataannya. Kamu menginginkannya. Dengan mencintai saya, kamu telah membuktikannya."
"Saya mencoba berlaku adil karena berpikir pernikahan ini keinginan Syifa, tapi ternyata bahkan dia tidak pernah membuat surat itu."
"Itu artinya saya telah membuat kesalahan dengan menyakiti Syifa dan berlaku tidak adil padanya. Kamu telah mendapatkan pernikahan dan cinta, tapi Syifa? Dia tidak mendapatkan apapun selain kesedihan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Rakaat CINTA [Selesai]
Espiritual"Pernikahan bukan sebuah permainan, Mas!" Gadis itu tidak bisa menyembunyikan kemarahannya. Ah, tidak. Lebih tepatnya rasa kecewa, tetapi untuk alasan apa? Apakah karena perkataan pria itu atau takdir yang seakan mempermainkannya. Dialah Arnaina Naf...