"Untuk kalian, aku akan kuat. Biarlah rindu ini terus berkarat karena mencintai haruslah dengan rasa sakit."
.
.
.
2RC...
Satu minggu berlalu. Rasanya masih seperti mimpi. Di bawah gumpalan putih yang begitu menenangkan. Di antara hijau daun padi yang menari sebab tertiup angin. Zahra duduk pada bangku kayu yang berada di dekat pohon mangga.
Netranya menatap ke depan. Beberapa meter dari tempatnya, di lapangan yang separuhnya ditumbuhi rerumputan. Zahra tersenyum melihat sekumpulan anak tengah bermain di sana. Sebagian menerbangkan layangan dan sebagiannya lagi berkejar-kejaran.
Tak perduli meski panas menyelimutinya atau keringat memenuhi sekujur tubuh. Tawa mereka tetap lepas, tanpa beban. Menegaskan bahwa masa kecilnya begitu menyenangkan.
Melihat itu rasanya ia ingin kembali ke masa kecil. Di mana hanya ada lekungan di bibirnya. Ah, apa-apaan dirinya ini. Moodnya selalu labil, mungkin karena efek kehamilannya. Ia jadi sedikit sensitif. Sudahlah.
"Assalamualaikum, sosok kecil ummi. Baik-baik ya di dalam sana." Perlahan Zahra mengelus perutnya yang tertutupi gamis merah muda. Senyumnya kembali mengembang. Hanya dengan seperti ini saja ia sudah bahagia.
Belum lagi panggilan ummi yang diucapkannya sendiri. Sekarang saja rasanya seperti ada kupu-kupu di perutnya. Bagaimana jika nanti sudah lahir? Sungguh, ia akan sabar menunggu sosok mungilnya menatap dunia. Meskipun hanya seorang sendiri.
Benar. Seorang diri. Biasanya di saat seperti ini, seorang wanita selalu bersama suaminya. Berbeda dengannya. Entah mengapa ia jadi teringat pria itu. Bagaimana kabarnya? Rasanya rindu itu tak pernah hilang. Setiap harinya terus menumpuk menjadi cairan bening di pelupuk.
"Mas, apakah kamu mencariku? Ataukah melupakanku?" lirihnya. Kembali angannya melayang, di saat seperti ini ia sangatlah rapuh. Terkadang hatinya ingin egois dan tetap mempertahankan. Namun, tidak. Ia tidak bisa.
"Aku membutuhkanmu, tapi aku juga tidak ingin menjadi benalu dalam hidupmu."
"Aku mencintaimu, itulah mengapa aku pergi darimu." Zahra memegang kuat pada unjung bangku itu. Menahan air mata yang seolah dengan mudahnya turun.
"Apakah sekarang kamu bahagia bersama Syifa?" Zahra tak bisa menafiknya. Ada rasa sakit dan sesak saat membayangkannya. Namun, bukankah itu keinginannya. Tujuan dari kepergiannya.
Lalu sekarang mengapa ia seakan menyangkal? Bukankah dengan seperti ini Syifa dan suaminya bisa menikah tanpa harus menjadi yang kedua. Tanpa harus terbebani karena perasaannya.
Tidak, Zahra. Jangan seperti ini. Ah, mengapa mengingatnya Zahra selalu menangis. Sebenarnya hatinya ini ikhlas melepas ataukah tidak? Mengapa rasa itu tak pernah pergi.
Zahra memegangi kepala yang berdenyut dan seakan berputar. Terlalu banyak pikiran ternyata membuat pusing kembali menderanya. Ia mengembuskan napasnya dan mengucap istigfar berkali-kali.
Beberapa menit kemudian setelah dirasa mulai membaik, Zahra memilih pergi. Ada baiknya ia pulang sekarang sebelum kepalanya kembali pusing. Lagipula Nin Haji pasti sudah mencarinya.
Seharusnya, saat sedang seperti ini. Ia tidak boleh banyak pikiran terutama bersedih. Bukankah itu tidak baik untuk janinnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Rakaat CINTA [Selesai]
Espiritual"Pernikahan bukan sebuah permainan, Mas!" Gadis itu tidak bisa menyembunyikan kemarahannya. Ah, tidak. Lebih tepatnya rasa kecewa, tetapi untuk alasan apa? Apakah karena perkataan pria itu atau takdir yang seakan mempermainkannya. Dialah Arnaina Naf...