"Aku kalah lebih dulu. Bayangan rindu itu terngiang bahkan sebelum jarak benar-benar membentang."
.
.
.
2RC...
Malam semakin terjaga. Hawa dingin yang membaluti tubuh membuatnya mengosok-gosokkan tangan. Malam ini, setelah menuaikan dua rakaat malamnya. Zahra memilih duduk di tempat tidur. Masih dengan memakai mukena.
Jendela tak lagi terbuka seperti malam-malam sebelumnya. Setelah memeriksa keadaannya ke rumah sakit siang kemarin, ia harus lebih memperhatikan kesehatannya.
Zahra mengambil selembar kertas di atas nakas. Sekali lagi, ia menajamkan penglihatannya. Bukan mimpi, itulah kenyataannya. Seulas senyum kembali menghiasi wajah berona merah itu. Perlahan tangannya beralih mengelus perut.
"Oh, Allah. Terima kasih telah memberikan kepercayaan ini." Kini ia tak lagi sendirian. Di rahimnya sosok kecil nan rapuh telah menetap. Meskipun Allah belum menitipkan roh dan napas untuknya. Namun, Zahra sangat bersyukur. Ia akan menjaga amanah ini dengan baik.
Cinta yang tak mungkin ia dapatkan dari suaminya. Dari buah hatinya, ia akan merasakan cinta itu. Ah, mengapa dirinya secengeng ini. Zahra mengahapus tangis yang entah kapan jatuhnya. Hatinya terlalu terbawa perasaan. Semua tidak semenyedihkan itu.
Kembali tangannya mengambil satu lembar yang berbeda lagi. Ia mengembuskan napasnya berat. Keputusannya sudah bulat. Ia tidak akan menjadi penghalang untuk kedua orang yang saling mencintai.
"Maaf, Mas. Zahra harus pergi." Netra itu masih tak beralih pada kertas berisikan tulisan tangannya. Hatinya sesak hingga tak ada ruang untuk bernapas.
Semalam ini, ia sudah memutuskannya. Setelah kejadian di ruang tamu, Zahra sangat sadar di mana posisinya. Ia lebih memilih pergi agar mereka bisa bersatu. Tanpa harus memikirkan dirinya lagi.
Bukankah memang seharusnya dari dulu ia melakukannya? Pria itu berhak bahagia dengan orang yang dicintainya. Begitupun Syifa. Lagipula, semua ini sudah cukup untuknya. Sosok mungil di rahimnya adalah pelipur laranya.Sejujurnya, Zahra ingin memberitahu semua ini. Namun, ia tidak bisa melakukannya. Zahra tidak ingin membuat pria itu kembali terikat hanya karena bayi dalam kandungannya. Sekali lagi, ia tidak ingin Ali terbebani olehnya.
Satu hal lagi. Bukankah pria itu pernah mengatakan sebelumnya. Tepat di malam sebelum pernikahan, Ali mengatakan bahwa dirinya hanyalah pengantin pengganti. Tidak lebih dari itu.
"Apakah kamu bersedia menjadi pengantin pengganti Syifa?"
"Setelah Syifa membaik. Kita bisa mengakhirinya."
Bagaimana mungkin ia melupakan kalimat itu? Bukankah dari awal, pernikahan ini hanyalah ikatan di atas kertas. Sekarang setelah Syifa kembali, bukankah ia yang harus mundur. Ia akan menyerah. Melepas semua yang seharusnya tidak pernah tergenggam.
Zahra meremas mukena dan memeluk erat lututnya. Sakit. Benar-benar menyakitkan. Sekuat apapun ia mencoba tegar, nyatanya sulit. Hatinya tidak semudah itu melepaskan.
Ia tergugu dalam tangis. Menahan isak yang seolah menusuknya tiada henti. Biarlah malam ini ia menumpahkan segalanya termasuk ketakutan yang terus menyelimuti hatinya. Perihal mimpi buruk yang akan segera menjadi kenyataan.
Zahra ikhlas, jika pergi adalah jalan terbaik. Sebab merasakan madu tidak selamanya manis. Sungguh, ia tidak akan melarang atau sekedar menghentikan. Namun, bukan berarti ia tidak ingin dimadu. Itu hanya sepersekian dari keraguannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Rakaat CINTA [Selesai]
Tâm linh"Pernikahan bukan sebuah permainan, Mas!" Gadis itu tidak bisa menyembunyikan kemarahannya. Ah, tidak. Lebih tepatnya rasa kecewa, tetapi untuk alasan apa? Apakah karena perkataan pria itu atau takdir yang seakan mempermainkannya. Dialah Arnaina Naf...