"Yakinlah. Ada sesuatu yang menantimu. Setelah sekian banyak kesabaran yang kau jalani, yang akan membuatmu terpana hingga kau lupa betapa pedihnya rasa sakit."
-Ali bin Abi Thalib-
-2RC-...
Satu bulan telah berlalu. Selama itu pula Zahra masih setia dengan rasanya. Entah bagaimana cara ia menghilangkanya, tapi terlalu sulit.
Zahra melangkah hingga di ujung pintu. Ruangan yang hampir seluruhnya berdekorari putih biru itu membuatnya hanya bisa mengembuskan napas kasar. Belum lagi di beberapa bagian, lavender biru telah tertata dengan baik.
Bagaimana mungkin ia lupa, besok adalah hari bahagia untuk sahabatnya. Ia tidak aneh, Syifa memang berencana menikah muda dan beberapa jam lagi semua itu akan terlaksana.
"Nak Zahra, sudah sampai?" Wanita paruh baya itu menghampirinya dengan beberapa bunga di tangan. Zahra mengambil alih bunga itu dan memasangnya di meja.
"Sudah Ummi. Syifa mana?" Ummi Kaila menggeleng kemudian tersenyum. Ibunya Syifa memang sangat ramah. Jadi tidak aneh jika sahabatnya ini mempunyai sikap yang sama baiknya.
"Mungkin masih di kamarnya Nak. Biar ummi yang panggilkan. Kamu tunggu sebentar." Zahra kembali mengangguk dan duduk di kursi plastik. Sembari menunggu Syifa, ia memilih diam. Menatap ke luar jendela.
Zahra pernah mendengar sebuah kalimat singkat. Sebelum janur kuning melengkung, maka di sepertiga malam cinta masih bisa ditikung. Benarkah itu? Zahra rasanya tidak. Baik sebelum atau sesudah, jika bukan jodoh maka tidak bisa bersatu. Seperti dirinya.
"Zahra." Suara Syifa membuatnya mengalihkan pandangan. Gadis itu baru saja turun dari tangga. Piyama melekat seperti senyum di bibirnya.
Syifa sepertinya sangat bahagia. Tentu saja, jika pun dirinya yang berada di posisi itu mungkin ia juga akan merasakan hal yang sama.
"Sini, ikut aku ke kamar." Syifa menariknya. Menaiki lantai dua dan menuju kamarnya. Sebenarnya ia ragu, bahkan hanya melihat ruangan ini saja rasanya sakit.
"Tunggu bentar ya." Syifa mengambil sesuatu di dalam lemari sementara Zahra berdiri di ambang pintu yang terbuka.
Zahra menatap seluruh penjuru kamar. Ruangan berdekorasi senada itu tampak indah. Jangan lupakan ranjang dengan lipatan gorden putih dan taburan mawar merah. Tidak aneh, ini adalah kamar Syifa. Seseorang yang tak lain adalah sang pengantin.
"Zahra, kamu bisa tolong aku kan? Tolong temui Mas Ali." Permintaan atau perintahkah tetap saja membuatnya terkejut. Tidak. Ia tidak bisa. Sekali lagi, Zahra ingin memastikannya.
"Mas Ali? Kenapa gak kamu sendiri?" Syifa mendekat dengan bungkusan coklat di tangannya. Tangannya terangkat, mencubit pipi sahabatnya.
"Jika saja aku bisa. Aku dikurung sudah satu minggu yang lalu. Kalau aku gak kasih hadiah ini sekarang, kapan lagi?" Ah, iya. Zahra hampir saja lupa bahwa dari seminggu lalu Syifa tidak keluar rumah.
Kata orang istilahnya dipingit. Sebelum pernikahan, baik mempelai wanita atau pun pria tidak diizinkan untuk bertemu. Namun, mengapa Syifa harus meminta bantuannya? Mengapa tidak orang lain saja?
"Besok kamu bisa memberinya, setelah menjadi ... istrinya Mas Ali." Zahra menjeda kalimatnya. Rasanya mengucapkan kata itu sama saja menaburkan pecahan kaca di hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Rakaat CINTA [Selesai]
Espiritual"Pernikahan bukan sebuah permainan, Mas!" Gadis itu tidak bisa menyembunyikan kemarahannya. Ah, tidak. Lebih tepatnya rasa kecewa, tetapi untuk alasan apa? Apakah karena perkataan pria itu atau takdir yang seakan mempermainkannya. Dialah Arnaina Naf...