42. Bahagia itu Sederhana

16.1K 1.1K 8
                                    

"Terluka, kecewa, dan air mata adalah bagian dari cerita. Namun, bukan berarti bahagia tak pantas ada di dalamnya. Semua ada waktunya."
-2RC-

...

"Umi, Zahra minta maaf karena selalu buat Umi sedih dan khawatir. Zahra banyak salah dan belum bisa buat umi bahagia." Zahra memeluk erat wanita di sampingnya. Tangisnya lagi-lagi tumpah.

Akhirnya setelah lama, Zahra bisa merasakan dekapan hangat uminya. Betapa ia rindu. Wanita yang tak lagi muda itu terlihat lebih kurus dari sebelumnya. Mungkin itu karenanya. Siapa lagi memang jika bukan dirinya?

"Enggak, Sayang. Umi yang harusnya minta maaf. Sampai kapan pun, kamu selalu menjadi kesayangan umi." Suara itu semakin membuatnya lemah dan tidak bisa menahan isakkan.

Ruangan itu menjadi saksi di mana sedih dan bahagia itu menjadi satu. Uminya pasti tersiksa karena kebodohannya. Ia terlalu labil dan bersikap ceroboh. Tanpa memikirkan banyak orang yang terluka.

"Seharusnya kamu tidak memendam semuanya sendiri. Kamu tidak tahu, sesedih apa umi saat kamu pergi. Kamu itu dunia umi. Kalau kamu pergi, bagaimana dengan umi?" Zahra menggeleng. Melihat tangisan dari wanita yang dicintai, rasanya menyesakkan. Ia telah gagal menjadi anak yang berbakti.

"Jangan seperti ini lagi, Sayang. Jangan tinggalin umi." Zahra menghapus bulir bening di wajah renta itu. Kemudian kembali memeluk erat. Bukan hanya uminya, ia pun tidak ingin kehilangan wanita yang telah melahirkannya itu. Malaikat surganya.

"Sama abi gak rindu nih?" Zahra menoleh, kemudian tersenyum. Tanpa menunggu lagi, ia beralih dan memeluk pria pemilik cinta pertamanya.

"Abi, Zahra juga rindu," bisik Zahra membuat abinya tersenyum kecil. Putrinya ternyata sama saja.

Sementara Zahra, sebenarnya sedikit malu bersikap kekanak-kanakan seperti sekarang karena di ruangan ini tidak hanya ada umi dan abinya saja. Melainkan suaminya dan kedua mertuanya. Namun, rasa itu sudah menumpuk. Ia benar-benar merindukan mereka.

"Abi lebih suka kamu yang manja dari pada pendiam dan menyembunyikan masalah." Lihatlah. Abinya selalu saja tahu apa yang ia rasakan. Tanpa harus mengatakannya.

Abinya memang yang terbaik. Pria pertama yang mengajarkannya arti sebuah cina dan keikhlasan. Zahra tidak akan melupakan pahlawan hatinya itu.

"Kamu harus ingat, Nak. Kamu tidak sendiri. Ada abi di sini." Sekali lagi ia mengangguk. Memeluk lebih erat lagi.

"Sekarang giliran umi 'kan? Gak sabar meluk menantu kesayangan." Ucapan umi Salamah membuat semua orang tersenyum kecil.

Bertapa indahnya hari ini. Ternyata benar, kebahagiaan itu Allah datangkan saat banyak doa yang terucap dari orang-orang tersayang. Salah satunya orang tua. Mereka dua orang yang tak pernah ingin terlihat, tetapi doanya tak pernah melesat.

Tidak salah jika rida Allah terletak dari rida orang tua, dan murka-Nya tiada lain karena murka orang tua.

"Permisi. Bagi keluarga pasien, jika ingin melihat bayinya dipersilahkan." Suster itu mendekat dengan sosok mungil di gendongannya membuat semua orang semakin bahagia.

Meski pun tidak bisa berlama-lama. Namun, mereka tetap antusias. Bahagia karena bisa melihat cucu kesayangannya.

...

Lantunan ayat-ayat Ilahi memecah keheningan. Ruangan putih berisikan beberapa orang itu mendadak senyap. Hanya ada bait ketenangan yang keluar dari bibir prianya. Perlahan bulir-bulir air mata menganak di pelupuk lalu jatuh. Desiran halus menggetarkan setiap aliran darahnya.

Selalu saja. Dari dulu sampai sekarang, kumandang kalam itu membuatnya terhipnotis. Hatinya bergemuruh hebat. Ia merasa Allah begitu dekat. Bahkan sangat dekat.

Sekali lagi, haru melebur dalam tangis. Sebelumnya tidak pernah terbayang bahwa ia akan berada di masa ini. Jangankan berpikir sampai ke sana, dulu ia hanya mampu mencintai dalam diam. Namun, Bi idznillah. Dengan izin Allah, yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin.

Salah satunya mengikat cinta yang tidak halal ini dalam sebuah benang merah bernama pernikahan.

Zahra mengusap netranya. Ah, ia selalu saja menangis. Sungguh rasanya ia jarang sekali bersyukur dan selalu mempertanyakan takdir. Seharusnya ia berhusnudzon pada Allah. Namun, selama ini ia lebih banyak berprasangka tidak baik. Bukankah Allah lebih tahu yang terbaik untuk hambanya?

Allahu Akbar, Allahu Akbar.
Lailaaha illallah.

Bersamaan dengan berhentinya suara itu, Zahra menatap sosok kecil yang berada di pangkuannya. Jangan lupakan mata bulat dengan bulu lentik, hidung, dan bibir mungil berwarna merah muda yang membuatnya begitu menggemaskan. Ah, lucu sekali.

Sungguh. Nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang kau dustakan?

Beberapa detik kemudian, Zahra merubah posisi tangannya. Setelah diazani di telinga kanan, kini pria yang tak lain adalah suaminya itu memperdengarkan iqamah di telinga kiri bayinya.

Setelah selesai. Perlahan Zahra mendekat ke arah pipi berwarna kemerahan itu. Berniat memberikan kecupan singkat pada bayi kecilnya. Namun, di detik yang sama ia dibuat membeku saat pria itu juga melakukannya.

Lama mereka dalam posisi yang sama. Jantungnya berdetak melebihi batas normal. Nerta itu bertemu dengan jarak yang begitu dekat. Bagaimana tidak, mereka menciun bayi mungil itu di masing-masing bagian pipinya.

Zahra mengerjap ketika suara deheman terdengar. Dengan cepat ia menjauhkan wajahnya, menatap ke arah jendela.

"Sini, cucunya mau ummi bawa ke luar. Di sini nanti jadi nyamuk." Ummi Salamah mengambil bayi itu dari pengkuannya. Sementara Zahra benar-benar tidak berkutik.

Setelah beralih gendongan, dua wanita paruh baya itu melangkah pergi dengan tawa yang tertahan. Sementara suami-suami mereka sudah lebih dulu keluar. Namun, baru saja di ambang pintu ia menghentikan langkahnya.

"Lain kali kalau mau bermesraan jangan di sini. Dunia bukan hanya milik berdua ya." Suara ummi Salamah membuat kedua orang di dalam kembali mematung.

Zahra menunduk malu. Wajahnya mungkin sudah merah padam, ia menutupinya dengan kedua tangan. Dalam hati ia menggerutu, semua ini karena pria di sampingnya. Ah, ia sungguh malu.

"Pipimu merah. Tidak usah malu, Zahra. Saya suamimu." Suara itu mengagetkannya. Pria yang belum beranjak itu, tersenyum kecil.

"Tidak, Mas. Siapa juga yang malu?" Alibinya. Masih dengan menutup wajah, Zahra mengelak. Ia memaki pria itu dalam hati. Sudah tahu dirinya malu, masih saja harus dipertanyakan. Ia jadi malu berkali lipat.

Sementara Ali menaikturunkan alisnya sembari menahan senyum. Melihat Zahra dengan wajah kemerahannya, sungguh lucu.

"Benarkah? Kalau tidak malu, jangan bilang kamu marah bukan karena tadi saya menciu--"

"Bukan itu juga." Dengan cepat Zahra menjawabnya. Ia mengerucutkan bibir, sudah tahu ke mana arah pembicaraan itu. Ia benar-benar kesal. Mengapa semenjak kepegiannya, pria itu jadi sedikit menjengkelkan. Eh, bukan sedikit, tapi banyak.

Zahra menatap ke depan, tidak memerdulikan pria itu. Namun, di detik yang sama ia dibuat membeku. Aliran darah seakan berhenti berdetak berbeda dengan jantungnya yang bertalu-talu tanpa henti.

"Sekarang impas bukan? Saya sudah berlaku adil padamu dan puteri kecil kita." Zahra membelalak. Ia memegang pipinya tak percaya. Beberapa detik lalu sebuah kecupan mendarat di sana. Kecupan yang sama yang diberikan suaminya pada puteri kecil mereka.

Pria itu tertawa. Benar-benar menjengkelkan. Tak tahukah bahwa perlakuan tadi membuatnya hampir terkena serangan jantung.

"Kamu tidak mau berlaku adil juga? Tidak perlu malu, kita hanya berdua di sini." Zahra menatap tajam ketika pria itu menunjuk-nunjuk ke arah pipinya sendiri. Memberi kode. Baru kali ini ia melihat Ali menggodanya.

"Apasih, Mas." Zahra memalingkan wajahnya yang mulai memanas. Sementara pria itu tertawa puas. Sungguh, berkali lipat menjengkelkan. Sudah dipastikan pipinya semerah tomat sekarang.

Astagfirullah, ia malu. Sungguh benar-benar malu.

Dua Rakaat CINTA [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang