"Tak perlu risau soal hidup, sejatinya maut tinggal tertikar, rejeki telah tertakar, dan jodoh takkan tertukar."
-2RC-...
Malam tampak kelam, sesosok gadis mengintip langit berwarna kelabu. Jendela kamar masih terbuka, angin berembus membelai kulitnya yang tertutup piyama abu dengan khimar senada.
Setelah selesai salat isya, ia kembali membuka benda berlayar persegi. Melihat beberapa dokumen untuk tugas kuliah besok sesekali mencatat beberapa bagian untuk bahan presentasi.
Menurut sebagian orang, bangku perkuliahan adalah masa menakutkan tentang tumpukan tugas yang tak ada habisnya. Namun, di masa inilah sesuatu baru dimulai. Mengenal arti kehidupan, pertemanan, dan cinta.
Cinta, virus merah jambu itu membuatnya diam-diam mengagumi seseorang. Sosok yang namanya ia pinta dalam doa.
Gadis itu kembali merutuki dirinya sendiri, tersadar dari zina pikiran yang merupakan sebuah dosa. Berulang kali istigfar terucap, tapi sosok itu selalu hadir lewat sepenggal memori dalam bingkai angannya.
Apakah ia sudah mempunyai calon istri?
"Jangan ngawur, Zahra. Berharap menjadi istri seorang Ali adalah hal mustahil!" Berkali-kali ia menepuk jidat, memikirkan kebodohannya.
"Jodoh itu cerminan diri. Lalu apa pantas pria shaleh dengan segala kelebihannya, bersanding denganku yang penuh kekurangan?" gumamnya semakin tak jelas.
Zahra segera mengambil lembaran bersampul putih yang berada di laci, berharap bisa mengalihkan pikirannya. Namun, lagi-lagi pikirannya tertuju pada pria itu. Kaum adam yang satu ini berhasil mengetuk pintu hatinya, membuat makhluk merah jambu itu bersemayam.
Ia benar-benar takut terlalu berharap hingga akhirnya jatuh dan kecewa. Sulit rasanya untuk menjaga hati karena bagaimanapun ia hanyalah manusia biasa.
Benda pipih berwarna silver di sampingnya bergetar menghentikan lamunan singkat. Ia segera menggeser tombol berwarna hijau, sesaat setelahnya mendekatkan ke telinga.
"Assalamualaikum, Zahra," ucap seseorang di seberang sana.
"Waalaikumsalam, Syifa. Ada apa?" Zahra sedikit aneh karena sahabatnya menelpon malam-malam.
"Aku lupa kasih tahu, besok ada rapat gabungan membahas kegiatan halaqah. Waktunya sebelum zuhur."
"Rapat gabungan?" Ingatannya berlayar pada liqo tadi siang. Zahra ingat, Ustadzah Maryam sempat membahas kegiatan lain untuk halaqah (forum kajian Islam) disela libur kuliah semester satu. Namun, ia baru tahu kalau kegiatannya gabungan.
"Iya, Shalehah. Jadi matarabbi (binaan) Ustadzah Maryam sama Ustadz Malik ngadain kegiatannya barengan."
"Berarti kegiatannya gabungan ikhwan sama akhwat. Apa gak sebaiknya khusus akhwat aja? Takutnya timbul fitnah."
"Bukan gitu. Jadi kegiatannya tetap terpisah, hanya tempat dan perencanaan aja yang sama.
In syaa Allah, kegiatan ini baik yang terpenting kita harus jaga adab dan pandangan.""Pokoknya kamu harus ikut, gak mau tahu! Aku juga udah bilang sama Ustadzah Maryam," lanjut Syifa dengan menekan ujung kalimatnya.
"In syaa Allah, Arsita Nur Syifa sahabatku yang bawel." Terdengar tawa kecil lewat benda silver itu. Satu hal yang disukai dari sahabatnya ini, ia sangat ramah dan lembut meski sedikit pemaksa. Bukan sesuatu yang baru jika banyak pria di kampus menyatakan cinta secara terang-terangan.
"Ya sudah, aku tutup telponya. Jangan rindu ya, Shalehah." Zahra mengerucutkan bibir, antara geli dan aneh mendengar Syifa berbicara seperti itu.
"Ish, gak akan aku rindu sama kamu." Percakapan mereka berubah topik, beberapa menit kemudian berakhir setelah salam yang terucap dari Syifa.
Setelah menyimpan kembali ponselnya, Zahra teringat pada bungkusan coklat yang sejak siang tak tersentuh. Novel yang dipesannya di perpustakaan. Selain hobi membuat cupcake, Zahra juga hobi membaca novel apalagi yang bernuansa islami karena banyak hikmah yang bisa diambil dari sana.
"Eh, kok bukan novel Siti Fatimah?" Kening Zahra berkerut setelah melihat isi di dalamnya. Bukannya mbak Dina memberikannya novel itu, mengapa sekarang buku tebal berisi hadis?
...
Awan mulai berubah, warnanya kembali cerah. Kursi berjejer memanggil tuannya, agar cepat menduduki tempat ternyaman sebelum kendaraan melaju.
Zahra duduk di kursi kosong ke tiga yang berada di tepi. Setelah tersenyum pada wanita tua di dekat jendela, ia kembali memeriksa tugas yang sudah dicetaknya.
Sembari menunggu bis sampai ke kampus, ia menikmati keberangkatannya dalam diam. Sesekali berbincang dengan seorang nenek di sampingnya.
"Neng Zahra ini sudah punya calon belum?" Pertanyaan sang nenek membuatnya menciut. Hal satu ini kerap dijumpainya, memang sudah bukan sesuatu yang asing lagi.
"Alhamdulillah masih rahasia Allah, Nek." Hanya itu jawabannya.
Memang rejeki, jodoh dan kematian sudah ditentukan, yang perlu ia lakukan sekarang adalah menunggu dan meminta. Melambaikan tangan di kala malam mulai menjemput.
Bukan ia tak berikhtiar, hanya saja tak ingin terlalu mengejar cinta. Sesuatu yang belum ia tahu ujungnnya. Berharap pada manusia hanya akan berbuah kekecewaan. Bahkan ia tak pernah tahu siapa yang lebih dulu akan melamar. Jodoh atau kematian?
"Semoga disegerakan sama Allah. Masalah jodoh gak akan tertukar, Neng." Wanita tua itu mengelus tangannya.
"Aamiin." Perbincangan itu terhenti, bis yang ditumpanginya menginjak rem mendadak. Zahra yang tak siap, sedikit terdorong ke depan dengan tangan sebagai tumpuan.
Zahra tak henti menyucapkan istigfar. Alhamdulillah, Allah masih melindunginya. Sopir meminta maaf atas kelalaiannya sehingga hampir saja menabrak pengendara motor di depan. Beberapa penumpang sedikit terbawa emosi, tapi untunglah semua kembali aman.
"Nenek gapapa?" Zahra khawatir dengan wanita renta di sampingnya, pasti ia sama terkejut dengannya.
"Alhamdulillah nenek baik. Neng itu tangannya memar!" Zahra repleks melihat bagian pergelangannya, mungkin karena tadi tak sengaja terkilir.
"Zahra gapapa, Nek. Memar dikit." Zahra menggerakan pelan tangannya yang sedikit nyeri.
"Beneran, Neng?" Zahra menganggukan kepala sembari menyunggingkan senyum. Seketika ia teringat pada bukunya yang mungkin sudah mencium permukaan bus.
Belum sempat tangannya terulur, sosok lain telah lebih dulu menyentuh lembaran itu. Zahra menatap ke depan, di mana pria berkemeja putih telah mengambil alih bukunya. Suhu di sekitarnya seakan menguap bersamaan dengan debaran yang berpacu cepat.
"Syukron, Mas. Jazakallahu khairan katsiran." Hanya kata itu yang keluar dari bibirnya. Semua menjadi kelu.
"Wa iyyaki." Pria di hadapanya menganggukan kepala, kemudian setelahnya berbalik ke tempat duduk.
Mengapa ia baru menyadari bahwa pria yang berada di kursi seberang adalah Ali. Lalu bagaimana caranya bernapas dengan normal jika seperti ini. Istigfar, Zahra!
Perlahan, Zahra melirik ke samping kirinya. Aliran darah membeku ketika mata elang menangkap basah aksinya. Tatapan tajam itu membuatnya mati kutu, ia kelimpungan.
Zahra langsung menjatuhkan irisnya ke arah lain, menghindari tatapan mematikan itu. Wajahnya terasa memanas, mungkin saja semburat merah sudah berdiam diri di sana.
Cukup, jangan lagi!

KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Rakaat CINTA [Selesai]
Філософія та духовні розповіді"Pernikahan bukan sebuah permainan, Mas!" Gadis itu tidak bisa menyembunyikan kemarahannya. Ah, tidak. Lebih tepatnya rasa kecewa, tetapi untuk alasan apa? Apakah karena perkataan pria itu atau takdir yang seakan mempermainkannya. Dialah Arnaina Naf...