"Sebab mencintai bukanlah perkara mudah, hati-hatilah karena hatimu bisa saja patah."
-2RC-Zahra keluar dari taksi, setelah memberikan uang beberapa lembar. Hujan sudah reda dan untunglah gamis yang dipakainya hanya basah sedikit. Namun, ini sudah terlalu malam. Jarum jam di tangannya bahkan sudah berhimpit di angka sepuluh.
Perlahan ia membuka pintu, ditatap lekat seluruh penjuru. Lampunya memang sudah menyala, tapi tak ada siapa pun di dalam sana.
Zahra mengembuskan napasnya berat. Mengapa ia berharap pria itu menunggu dan mengkhawatirkannya? Suaminya tidak perduli sama sekali. Sudahlah. Ia tidak ingin terbawa perasaan. Setelah kejadian tadi, hatinya benar-benar lelah. Ia harus mengistirahatkan tubuh dan hatinya.
"Zahra." Baru saja melangkahkan kaki di tangga, suara bariton menghentikannya. Membuat Zahra terkejut sekaligus takut. Pria itu mungkin saja marah karena pulang malam. Perlahan, ia menolehkan kepalanya.
"Astagfirullah, Mas!" Zahra berlari begitu melihat pria di ambang pintu itu. Pakaiannya basah kuyup dengan wajah yang sedikit berantakan.
"Dari mana saja, Mas? Mengapa bisa kehujanan seperti ini?" Dengan cekatan Zahra mengambil handuk dan memberikannya.
"Saya mencarimu, Zahra." Zahra membeku sembari menatap tak percaya. Benarkah apa yang ia dengar barusan? Pria itu mencarinya. Bukankah selama ini ia tidak pernah perduli.
"Kamu ke mana saja? Mengapa tidak memberitahu saya?" Zahra semakin diam, sedikit aneh dengan sikap pria di depannya.
Ia bukan tidak ingin memberitahu. Namun, bukankah Ali pernah mengatakan untuk tidak perlu meminta izin. Namun, sekarang? Pria itu marah karena ia tidak memberitahunya. Seakan sangat khawatir padanya.
Perhatian atau apakah ini? Sungguh, Zahra tidak mengerti. Jangan buat dirinya salah paham dengan perhatian ini. Ia tidak ingin putus karena ditarik ulur. Hatinya bukan layangan.
"Maaf, Mas. Zahra tadi melihat keadaan Syifa. Ponselnya ketinggalan di kamar." Pria itu diam mendengar jawabannya. Zahra semakin bingung dengan sikapnya akhir-akhir ini.
"Kalau gitu, Zahra buatkan teh hangat dulu. Mas pasti kedinginan." Zahra bangkit dan bergegas ke dapur. Suasana ini terlalu membingungkan untuknya.
"Zahra." Suara itu kembali menghentikannya. Selalu saja. Tak tahukah, bahwa Zahra selalu tegang jika mendengar panggilannya.
"Lain kali, jangan seperti ini lagi. Beritahu saya."
"Saya, suamimu." Jantungnya mendadak terhenti. Desiran halus menggetarkan nadinya. Kalimat itu membuatnya seakan tak lagi bernapas. Suami? Benarkah Ali telah menganggapnya sebagai seorang istri.
Pria itu, mengapa selalu saja membuatnya bingung. Sikapnya tak dapat ditebak. Terkadang seolah tak perduli, tapi terkadang sebaliknya.
Sebenarnya apa yang suaminya itu inginkan?
...
Setelah membuat secangkir teh, Zahra kembali diam. Melihat pria itu menyesap tehnya. Semakin ia menatap sosok di depannya, semakin hatinya sesak. Ada rasa bersalah yang teramat sangat.
Ia telah menyakitinya. Pria itu mencarinya sampai begitu larut hingga kehujanan. Zahra merasa tidak berguna. Sampai kapan akan seperti ini? Ia selalu menyusahkan dan membuat suaminya tersiksa dengan hubungan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Rakaat CINTA [Selesai]
Spiritual"Pernikahan bukan sebuah permainan, Mas!" Gadis itu tidak bisa menyembunyikan kemarahannya. Ah, tidak. Lebih tepatnya rasa kecewa, tetapi untuk alasan apa? Apakah karena perkataan pria itu atau takdir yang seakan mempermainkannya. Dialah Arnaina Naf...