"Apabila sesuatu yang kau senangi tidak terjadi, maka senangilah apa yang terjadi."
-Ali bin Abi Thalib-
.
.
.
2RC...
Gadis dengan pasmina cream itu duduk di taman kampus. Tatapannya kosong meski keramaian menenuhi netra. Sekali lagi, hatinya hancur. Bagai serpihan debu yang tertiup angin, dalam sesaat semua terbang dan hilang.
Linangan di mata sudah tak terhitung, dalam diamnya ia hanya bisa menangis. Kalimat tadi seperti mimpi baginya. Bahkan mimpi tidak pernah semenyakitkan ini karena saat terbangun, semua kembali baik-baik saja. Namun, kenyataan ini?
"Boleh saya duduk, Syifa." Suara bariton seseorang membuatnya tersadar. Dengan cepat ia mengusap pelupuknya yang basah.
Syifa mendongkak, menatap sepasang netra teduh yang berdiri di depannya. Bayangan tubuhnya yang terkena sinar matahari, ia pikir adalah pria yang pergi beberapa menit lalu. Namun, ternyata bukan. Ah, bodoh. Mengapa ia berharap lebih.
"Saya ingin meminta maaf padamu." Kembali suara itu terdengar. Syifa menoleh pada pria yang kini duduk tak jauh di sampingnya.
"Maaf untuk apa? Mas tidak salah. Jadi tidak perlu meminta maaf."
"Maaf untuk semua yang pernah Ainun lakukan padamu." Syifa membisu. Hatinya sedang tidak baik-baik saja saat ini dan kalimat itu justru semakin membuatnya terpuruk. Melemparnya jauh pada masa pahit yang telah merenggut separuh hidupnya.
"Apa yang Ainun dan Zahra lalukan telah membuat rangkaian mimpiku hancur. Apakah dengan meminta maaf semua bisa kembali?"
"Bukan Zahra." Syifa tersenyum kecut. Baru saja beberapa menit lalu ia mendengar nama itu. Sekarang, satu pria kembali membelanya. Sebenarnya, apa yang dimiliki Zahra sampai semua pria dibutakan olehnya?
"Jika bukan Zahra, lalu siapa?" Sebisa mungkin Syifa menahan diri agar tidak terbawa emosi. Ia sudah lelah mendengar ocehan yang sama tentang gadis yang sama.
"Saya yakin bukan Zahra orangnya. Zahra tidak akan seberani itu--"
"Lalu Ainun? Apakah dia memang seberani itu? Bukankah dia adikmu, Mas. Apakah kamu tidak yakin padanya?" Belum sempat terselesaikan, Syifa memotong perkataannya membuat pria itu bungkam.
"Mengapa diam? Apakah aku salah?" Kembali bibirnya melengkung kecut. Syifa sudah menduganya. Pertanyaan basi yang hambar dilidahnya.
Terserah jika banyak orang salah paham dengan kalimat sinisnya. Untuk apa ia perduli, apakah ada yang perduli juga padanya? Pernahkah mereka berpikir bagaimana perasaannya?
Sebab kecelakaan itu, ia berjuang mati-matian antara hidup dan mati. Namun, saat terbangun semua mimpinya musnah. Bukan hanya hancur, pernikahannya bahkan telah terganti oleh seseorang yang tak lain adalah sahabatnya.
Berulang kali ia dikecewakan kenyataan. Hatinya sakit. Salahkah jika ia marah. Pertanyaannya selalu sama. Apakah ia tidak berhak untuk bahagia?
"Ainun begitu mencintai sahabat kecilnya. Selain saya, hanya Ali laki-laki yang dia percaya. Perceraian dan kepergian abi kami membuatnya trauma. Ketakutan itulah yang membuat Ainun tidak ingin kehilangan untuk yang kedua kalinya."
"Trauma itu membuat dia berani melakukannya. Itulah mengapa saya meminta maaf padamu." Syifa terdiam. Ada sesuatu dalam hatinya yang merasa bersalah. Sebesar itukan cinta Ainun? Namun, semua tak mengubah kenyataan bahwa apa yang dilakukannya salah.
"Tapi Zahra? Dia tidak bersalah. Pernikahan ini bukanlah keinginannya." Suara itu kembali menyadarkannya.
"Mas mengatakan itu karena Mas mencintai Zahra, tapi kenyataannya. Zahra tidak sebaik itu." Kembali hatinya dihantam sakit. Kali ini ia tidak bisa menahan amarahnya lagi. Rasanya sungguh menyakitkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Rakaat CINTA [Selesai]
Spiritual"Pernikahan bukan sebuah permainan, Mas!" Gadis itu tidak bisa menyembunyikan kemarahannya. Ah, tidak. Lebih tepatnya rasa kecewa, tetapi untuk alasan apa? Apakah karena perkataan pria itu atau takdir yang seakan mempermainkannya. Dialah Arnaina Naf...