Mencari Permaisuri

193 48 47
                                    

Aku membuka mata perlahan dan menatap langit-langit beraroma serbuk kayu yang khas. Ukiran klasik nan megah terpampang begitu jelas. Di dinding terdapat logo Royale Institute. Butuh waktu sejenak untuk menyadari bahwa aku sudah berada di ruang kesehatan.

"Akhirnya anda sadar juga, yang mulia."

Aku menoleh ke arah sumber suara dan di sana sudah ada wanita dengan pakaian medis.

"Anda ditemukan di dasar jurang. Untung saja tidak ada luka fatal," lanjutnya lagi.

Sejenak aku teringat kelompok itu. Ternyata mereka benar-benar melemparku ke jurang.

"Bagaimana dengan Vincent dan Henry?" tanyaku memastikan.

"Itu-" Ia terdiam sejenak. "Mereka berdua ditemukan terluka. Pangeran Vincent yang paling parah."

"Lalu bagaimana dengan kondisi mereka?"

"Pangeran Henry sudah membaik, tapi pangeran Vincent belum sadarkan diri dan masih membutuhkan perawatan intens. Saat ditemukan, beliau benar-benar sekarat," jawabnya.

"Di mana mereka sekarang? Apa mereka dirawat di sini?"

"Tidak. Mereka dirawat di istana." Wanita itu mulai mengecek kondisiku. "Syukurlah, biusnya sudah hilang sepenuhnya."

Tak lama, pintu terbuka dan seorang pria bertubuh tegap masuk dengan pakaian berseragam. Kedatangannya sudah pasti ingin menanyaiku tentang kepergian kami.

"Selamat siang, yang mulia."

"Ya?"

"Anda terbukti melakukan pelanggaran dengan menyusup ke luar dari Royale Institute bersama pangeran Vincent dan pangeran Henry tanpa ijin dan pengawasan," ujarnya. "Jika kondisi anda sudah membaik, mohon untuk datang ke ruang sanksi untuk menentukan hukuman."

Aku terdiam sembari menghela napas. Hal yang paling kuhindari akhirnya terjadi padaku juga. Aku sama sekali tak peduli dengan reputasi. Menghindari masalah selama di sini, itu yang terpenting.

Jika saja kemarin aku memutuskan pulang ke Royale Institute tanpa ketahuan, harusnya takan seperti ini. Waktuku menjadi sia-sia hanya untuk mengejar kelompok itu, yang pada akhirnya...aku tak bisa membantu mereka berdua sedikitpun.

"Baiklah, saya akan ke sana."

.

Siang ini, aku sudah berada di ruang sanksi. Di sana aku duduk bersama tiga orang yang bertugas memberiku hukuman dan mencatat pelanggaran yang kulakukan. Rasanya seperti berada di ruang sidang dan aku terdakwanya.

"Pangeran Rein. Kami sudah memutuskan hukuman yang tepat atas pelanggaran anda." Wanita paruh baya yang duduk di tengah bersuara. "Anda akan dihukum berupa isolasi selama tiga hari. Anda tidak boleh keluar dari ruangan anda dengan alasan apapun. Kami akan mengirim guru pembimbing ke sana agar anda tetap mengikuti pelajaran seperti yang lainnya. Dan untuk makan siang hari ini, anda tidak boleh ikut makan bersama dengan yang lain. Hukuman mulai berlaku setelah pelanggaran anda terpasang di dinding hukum siang ini," lanjutnya.

"Lalu bagaimana dengan pangeran Vincent dan Henry?"

"Mereka juga akan mendapat hukuman yang sama setelah mereka kembali dari istana."

"Baiklah." Aku mengangguk, mengerti dan pasrah.

Kini aku berdiri di tengah aula dengan pita merah yang sudah melingkar di lenganku. Semua pelajar mulai berdatangan saat papan pelanggaranku dipajang di dinding hukuman. Suaranya menggema keras dan menarik perhatian banyak orang.

Sungguh, aku merasa risih saat semua mata tertuju padaku. Tatapan mereka seolah menelanjangiku. Sebagian ada yang menyeringai, sebagian ada yang tak peduli dan ada juga yang tampak tak percaya.

ReinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang