Kembali ke Asrama

164 49 22
                                    

Kereta kuda melaju untuk mengantar kami ke Royale Institute, entah akan ada rumor apa saat kami sampai di sana. Aku sudah membayangkan betapa ributnya situasi di tempat itu saat mereka tahu aku dan Zora hilang dalam waktu beberapa hari.

Aku melamun sambil menyangga dagu, memikirkan apa yang raja Leon katakan padaku. Entah peristiwa apa yang kulewatkan di masa lalu, aku sangat terkejut saat tahu kalau aku pernah memiliki saudara. Yah, meskipun belum sempat lahir.

Kulirik Zora yang juga tampak melamun sambil menatap ke luar. Wajahnya tampak bersemu malu, membuatku berpikir kalau...ia masih mengingat kejadian semalam. Dan sialnya, wajahku turut memanas saat bayangan semalam tak sengaja melintas di kepalaku.

Ya, tak kusangka aku akan menciumnya sepanjang malam di tengah rintihan rasa sakitnya. Ekspresinya yang menggoda itu, membuatku hampir tak bisa mengendalikan diri. Dan untungnya, tak ada yang melihatnya keluar dari kamarku.

"Rein," panggilnya tanpa menoleh.

"Ya?"

"Terima kasih untuk semalam. Rasa sakitku jadi...sedikit teralihkan."

Aku terdiam sejenak, menatapnya yang masih memalingkan wajahnya untuk menutupi ronanya. Beberapa detik kemudian, aku tersenyum miring. Terlintas keinginan untuk menggodanya. "Mau lagi?"

Benar saja, ia langsung menoleh ke arahku dengan wajah merah. Hanya dalam waktu singkat, aku berhasil membuatnya salah tingkah.

"Berhentilah bersikap seperti itu," gerutunya dengan nada tak acuh.

"Kalau dengan pasangan sendiri, harusnya tidak masalah kan?"

"Tapi tetap saja. Kita belum resmi menjadi pasangan yang sesungguhnya!"

Aki tersenyum atas tingkahnya yang terlihat...menggemaskan. "Oh, apa perlu aku melakukan ritual pernikahan itu?" bisikku bercanda.

"Yang benar saja! Aku belum siap!" makinya sedikit berteriak, tapi setelah itu ia kembali menymbunyikan ekspresinya yang seperti menahan malu.

Aku menarik tangannya karena tak tahan atas sikapnya yang lucu. Tak kusangka gadis yang kukenal menyebalkan ternyata bisa menunjukkan ekspresi seperti itu.

Awalnya ia menolak, namun pada akhirnya ia menyerah dan kini, kami saling berhadapan dengan jarak yang sangat dekat. Kupeluk pinggangnya agar kami semakin rapat. Aku bisa merasakan jantungnya seperti berdetak kencang.

Napasku tercekat sejenak saat melihat wajahnya sedekat ini. Kubelai lembut pipinya dengan tatapan matanya yang seperti menghipnotisku.

Awalnya aku mendekatkan wajahku agar bisa merasakan napas canggungnya, bermaksud untuk menggodanya. Namun, ternyata ia menciumku lebih dulu, membuatku terpaku sejenak. Aku memang tipe orang yang tak suka didahului wanita, tapi entah kenapa kali ini aku tak merasa marah sedikitpun.

Ada rasa senang yang mengalir disertai debaran aneh yang membakar. Aku begitu menyukai situasi dimana ia terlihat begitu manis. Napas kami terengah saat ciuman kami terlepas, lalu saling berpelukan sambil tertawa.

Sungguh, tak kusangka akan seperti ini hubunganku denganya, yang tadinya begitu dingin dan menyebalkan kini berubah hangat seperti mentari pagi.

* * *

Akhirnya kami sampai di halaman Royale Institute saat Matahari terbit lagi. Wilayah Axiandra yang luas membuatku nyaris tak percaya kalau jarak dari istana ke Royale Institute ternyata sangat jauh, bahkan kami harus menghabiskan waktu sehari semalam di kereta, padahal sudah ditarik enam kuda sekaligus.

Sesuai dugaanku, kedatangan kami menciptakan kerumunan di sertai bisikan-bisikan yang menggema. Para petugas yang menyambut langsung menggiring kami ke ruang investigasi tanpa memberi waktu kami untuk istirahat.

ReinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang