Duka

148 46 2
                                    

Satu minggu telah berlalu, hubunganku dengan Zora kini telah menyebar luas di Royale Institute, entah siapa yang menyebarkannya.

Tak sehari pun namaku luput dalam perbincangan para gadis dan semenjak itu, Zora semakin banyak diserang secara verbal, sesuai prediksi.

Namun, kami sama-sama saling menguatkan satu sama lain agar hubungan ini tetap bertahan hingga hari bahagia itu tiba.

"Rein, ada surat untukmu." Henry meletakkan secarik amplop kecil di meja dekat ranjang. "Hari sudah sore, cepat bangun!"

Aku bangkit dari ranjangku yang nyaman dengan lesu, lalu meraih surat itu dan membacanya.

Untuk yang mulia Rein

Hari ini saya ingin memberi tahu bahwa saya resmi lulus dari Royale Institute. Saya ingin sekali menraktir anda, tapi sayangnya aturan di sini sudah lebih ketat dari sebelumnya.

Yang mulia, bolehkan saya bertemu dengan anda sebelum pulang ke Vainea? Jika anda berkenan, datanglah ke perpustakaan setelah makan malam. Saya akan menunggu anda.

Maaf jika permintaan saya telah mengganggu anda.

Salam hormat,

Luna Fredy

Aku terdiam sejenak, ini adalah surat pertama dari Luna. Rasanya cukup aneh, mengingat ia biasanya tak pernah berurusan denganku kecuali pada saat-saat yang kebetulan.

"Apa itu surat cinta dari pacarmu?" tanya Henry sambil duduk di kursi dekat jendela.

"Bukan," jawabku singkat.

"Lalu?"

"Bukan apa-apa."

Henry menatapku curiga saat aku turun dari tempat tidurku. "Tidak biasanya kau begitu. Jangan-jangan kau punya pacar gelap."

"Jangan bicara sembarangan!" protesku atas tuduhannya.

Ia terkekeh. "Kau kan pangeran, punya pacar gelap juga harusnya tak masalah, apalagi kau penerus tahta."

"Aku tidak seperti yang lain. Tolong jangan buat opini yang mengada-ngada."

"Baiklah, baiklah." Ia tertawa mengejek. "Maklum, kau baru pertama jatuh cinta, jadi seolah-olah hanya ada satu wanita di hatimu. Padahal...itu bisa berubah kapan saja."

Aku berdiri mematung, tertegun atas kalimatnya yang blak-blakan namun mengusik pikiranku. "Maksudmu...suatu saat hatiku akan berubah?"

"Bisa hatimu...bisa juga dari pasanganmu."

"Sepertinya itu takan berlaku bagi orang yang saling mencintai."

"Yah, memang." Henry menghela sejenak. "Kau masih ingat ucapan peramal waktu itu? Kau akan bertemu dengan pasanganmu, cintanya padamu sangat tulus bahkan rela mengorbankan ngawanya untukmu."

"Lalu?"

"Apa kau yakin putri Zora adalah orang yang dimaksud?"

Aku mendesah jengah dan mulai kesal. Bukan hanya kalangan para gadis yang menentang hubunganku dengan Zora, Henry juga seperti berusaha membuatku ragu dan goyah.

"Sebenarnya aku tak terlalu peduli dengan ramalan itu. Cinta ya cinta, tak seharusnya hatiku ditentukan oleh ramalan yang belum jelas kebenarannya."

"Aku tidak tahu apakah orang-orang Vainea mempercayai ramalan atau tidak. Tapi bagi masyarakat Axiandra, ramalan itu bukanlah hal yang main-main." Henry bangkit dari kursinya sejenak. "Aku tahu, tak seharusnya ikut campur dalam urusan percintaanmu. Tapi jujur, aku ragu putri Zora pilihan yang tepat."

ReinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang