Kini aku sampai pada hutan gelap yang tampak mencekam, tak bisa membayangkan ada apa saja di dalamnya selain ular berbisa. Tapi tekatku untuk menemui penyihir itu takan surut. Harapan untuk mendapatkan kebahagiaanku kembali kini terasa dekat.
Aku memacu kudaku secepat mungkin dengan penerangan seadanya. Walaupun terakhir kali mereka mengantarku menggunakan portal sihir, tapi sepertinya...aku tahu letak goa itu.
Jantungku berpacu cepat seiring laju kudaku. Ada rasa waswas yang menghadang, khawatir jika bertemu binatang buas atau mungkin ular berbahaya seperti waktu itu. Sungguh, aku sudah tak peduli lagi terhadap peraturan untuk memasuki hutan larangan ini.
Setelah melewati perjalanan yang menegangkan, akhirnya aku sampai di goa itu. Goa yang tampak seram. Namun aku melihat secercah cahaya dari dalam dan tanpa ragu, aku memasukinya sambil menggendong Zora.
Jalannya begitu curam dan licin, membuatku harus berhati-hati dalam melangkah. Jalan yang kulalui kini membawaku menuju tempat seperti...kota bawah tanah yang mati. Dari sini aku bisa melihat peradaban tersembunyi di goa ini.
Aku tak bisa membayangkan bagaimana para pemberontak itu membangun tempat ini dan juga...saat pengepungan yang dilakukan oleh ayahku.
Rumornya, pemberontak yang gagal ditangkap, dibakar hidup-hidup bersama tempat ini oleh ayahku. Kayu lapuk bekas terbakar pun masih ada.
Buluku meremang ketika membayangkan peristiwa itu, rasanya...seperti masuk ke dalam dunia lain yang mengerikan.
Aku masih menyusuri kota bawah tanah yang luas, mengikuti api hijau yang mungkin...akan membawaku pada penyihir itu.
Tak lama, aku melihat pintu goa lain yang jalannya menurun ke bawah. Ternyata goa ini dalam sekali ke tanah, bahkan suhunya terasa dingin meski Vainea terkenal dengan udaranya yang hangat kecuali jika musim dingin.
Tubuhku terpental saat hendak memasuki pintu goa kedua. Aku tak tahu ada lingkaran sihir yang menjaga pintu masuk. Aku meringis saat punggungku terasa nyeri akibat menabrak dinding.
"Kupikir siapa orang bodoh yang berani memasuki tempat ini. Ternyata kau, bocah?"
"Nyonya Lavina?" gumamku saat sosok wanita paruh baya berdiri di pintu goa itu.
"Mau apa kau kemari?" tanyanya, seperti merasa terusik.
"Maaf karena kedatangan saya mengganggu anda. Tapi saya membutuhkan bantuan anda."
Keningnya berkerut sejenak. "Bantuan?"
Aku berusaha berdiri sambil menggendong tubuh Zora yang terasa mulai kaku. "Tolong...hidupkan dia kembali. Berapa pun biaya yang perlu saya bayar atau apa pun yang anda inginkan, saya akan memberikannya."
"Gadis itu...sepertinya aku kenal." Ia tampak berpikir sejenak. "Tapi...di mana ya?"
"Dia...putri Keylion yang pernah kalian kirimi sihir kutukan."
Mendengar kalimatku, matanya langsung melebar syok. "Kau memintaku untuk menghidupkan gadis yang pernah kukutuk?!" tanyanya dengan nada sedikit tinggi. "Tidak, aku tidak mau."
"Nyonya tolong, apa pun yang anda inginkan akan saya berikan."
"Bukan masalah imbalan yang akan kuterima, tapi aku tidak suka menghidupkan gadis yang keluarganya pernah menjadi musuhku."
"Tapi gadis ini tak terlibat permusuhan kalian dengan orang tuanya kan?"
"Tetap saja aku tidak suka! Apa tidak ada gadis lain yang bisa kau pinta untuk dihidupkan?"
"Nyonya, kumohon." Aku bertekuk lutut seketika. "Anda adalah harapan terakhir saya untuk menemukan kebahagiaan saya kembali."
Ia mendengus kesal, namun matanya seperti menatapku iba. "Kau yang seperti itu mengingatkanku pada ayahmu saat memohon untuk menghidupkan ibumu kembali. Tapi bocah." Ia mendekatiku perlahan. "Waktu itu ayahmu sudah siap mengorbankan nyawanya untuk menghidupkan ibumu. Apa kau juga akan merelakan nyawamu untuk wanitamu itu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Rein
FantasyIni adalah buku ke 3 dari seri Assassin, sangat disarankan untuk membaca 2 buku sebelumnya untuk mengurangi kesalahpahaman alur.. Kegelapan malam telah menyisakan sebuah penyesalan untuk memejamkan matanya. Rein, mencoba menyelidiki kasus kematian o...