Kepergian Luna

121 34 1
                                    

____Gencatan Senjata di Hari ke Lima Belas___

Eleanor bergerak di garis depan untuk memberi komando pada pasukannya, sementara aku sudah berdiri di atas menara benteng untuk melihat langusng situasi dari kejauhan. Rupanya, pasukan yang dikerahkan Zora cukup banyak. Seharusnya wanita itu ada di barisan belakang.

Aku menghela napas saat puluhan meriam tengah menembaki dinding untuk meruntuhkan benteng. Jika dulu aku menggunakan meriam, sudah pasti aku takan bisa meruntuhkan dinding ini, itu lah kenapa dulu aku memakai peledak. Sebagai kerajaan besar, Tryenthee memiliki benteng luar yang kokoh, membuatku beruntung karena berhasil menguasai wilayah ini.

Aku tak tahu kapan gencatan senjata ini akan berakhir, padahal Vainea belum lama pulih. Sudah lima belas hari aku berada di sini untuk memantau situasi, tapi rasanya seperti sia-sia. Kalau seperti ini terus, Vainea akan mengalami masa krisis yang parah.

"Yang mulia, utusan yang anda kirim untuk menemui ratu Zora tewas dibunuh," ujar Tuan Dary. "Tampaknya beliau enggan untuk melakukan negosiasi."

"Tak kusangka rencanaku meleset jauh." Aku menarik napas sembari berpikir. "Berdasarkan karakternya, seharusnya ia akan menerima permintaanku untuk bertemu, dengan begitu aku bisa melakukan negosiasi yang menguntungkan."

Ya, ini aneh. Ia bahkan sampai membunuh utusan yang berkali-kali kukirim. Biasanya ia selalu penasaran dengan rencanaku atau bahkan sangat berambisi untuk bertemu denganku jika sudah kesal. Kali ini...apa dia merencanakan sesuatu?

Aku tersentak saat mendengar ledakan dahsyat dari arah lain. Kami semua ternganga saat asap hitam pekat mengepul dari arah ibukota yang berarti...terjadi ledakan dan kebakaran besar di sana.

"Yang mulia!"

Buluku meremang saat kudapati seorang gadis dengan penampilan berantakan yang dipenuhi noda darah di pakaiannya. Ia berkuda bersama salah satu penjaga istana yang juga terluka berat. Cukup mengesankan ia bisa bertahan selama perjalanan menuju kemari dengan luka seperti itu.

"Vajira?" Jika dia datang sendirian kemari berarti...Luna masih ada di lokasi ledakan barusan.

Aku segera menuruni menara dengan tergesa-gesa. Dengan sigap tuan Dary membantu gadis itu turun dari kuda, sementara pengawal yang mengantarnya sudah tak sanggup lagi bertahan dan akhirnya dinyatakan tewas. Sial, baru saja kupuji ketangguhannya.

"Apa yang terjadi?!" cecarku khawatir.

"Ibukota diserang dari arah utara sejak lima hari yang lalu. Pasukan yang hendak melaporkannya pada anda, dihadang dan dibunuh tanpa sisa. Saya berhasil melarikan diri pun itu...berkat bantuan tuan Zern yang membuka pintu ibukota dengan mengorbankan dirinya."

"Tuan Zern...tewas?"

Ia mengangguk. "Dan yang mulia ratu..."

"Bagaimana dengannya?"

Vajira tampak sendu, bahkan hampir menangis. "Beliau menitipkan ini pada anda."

Aku terdiam saat menerima gulungan perkamen darinya. "Kenapa dia tak ikut bersamamu?"

"Beliau..." Vajira menghela napas sejenak, menahan tangisannya. "Ikut berperang."

Tanganku bergetar ketakutan, membayangkan sesuatu yang buruk terjadi padanya. "Dia...wanita yang tangguh. Jangan khawatir," gumamku menghiburnya sekaligus mencoba untuk percaya pada kemampuannya, seperti perang waktu itu. "Dia akan baik-baik saja."

"Mohon untuk dibuka suratnya, yang mulia."

Dengan cepat, aku membuka perkamen di tanganku dengan napas tercekat. Berharap isinya bisa membuatku sedikit tenang. Namun gerakan tanganku terhenti saat Eleanor sudah kembali dari garis depan.

ReinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang