Hukuman

188 48 50
                                    

Di atas pic. Joseph n Josette (tokoh baru) ^^

Seusai makan siang, aku segera menyendiri di perpustakaan untuk mengerjakan hukumanku. Yang membuatku masih kesal adalah ini jam tidurku. Harusnya detik ini aku sudah berada di kasurku dengan nyaman, bukan berkelut dengan buku setebal ini.

Dan benar saja, baru menulis dua lembar mataku sudah terasa berat. Kantuk menyerangku tanpa ampun hingga kepalaku terasa pening jika dipaksa terjaga. Kuhela napas panjang lalu mengacak-acak rambutku dengan lesu.

Aku mengamati keadaan sekitar yang hening. Mungkin...aku perlu tidur sebentar, sebelum melanjutkan hukumanku. Kini kepalaku terkulai di atas meja dan terlelap, berharap aku masih bisa menyelesaikannya sebelum jam makan malam dimulai.

.

"Yang mulia, bangunlah!"

Tubuhku mengerjap saat bahuku diguncang lembut oleh penjaga perpustakaan. "Jam berapa sekarang?"

"Sudah jam delapan malam."

"Jam delapan malam?!" jeritku membeo. "Oh astaga, tugasku belum selesai."

Rasa panik menyerangku karena menyadari bahwa aku baru menyalin dua lembar. Jam delapan malam, berarti jam makan malam sudah lewat.

"Terima kasih sudah membangunkanku."

Aku berlarian di koridor menuju ruang sanksi dan segera menemui bagian kepala hukum di sana.

"Nyonya, maaf. Aku...belum menyelesaikan hukumannya sesuai waktu yang ditentukan."

"Boleh lihat hasil kerja anda?"

Aku menyerahkan tulisanku yang baru menyalin sedikit dengan harap-harap cemas.

"Anda baru menyalin dua lembar?" komentarnya. "Kenapa?"

"Itu...aku tak sengaja tertidur di perpustakaan."

Ia menghela napas sejenak, tampak kecewa. "Besok pagi, datanglah kemari. Sebelum jam pelajaran dimulai."

"Baik, nyonya."

Aku berjalan menuju asrama dengan perasaan tak menentu. Masih ada rasa kesal yang menyelimutiku dan juga cemas dengan hari esok. Ya, semua ini karena putri sialan itu dan parahnya, kami berpapasan di jalan.

Aku mempertegas langkahku dan bertekad untuk mengabaikannya.

"Rein, aku minta maaf," ujarnya saat kami berhadapan. Namun aku terus melangkah dengan tak acuh tanpa menyahut sedikitpun.

"Aku melakukannya karena mereka mengusik Marmutku!"

Kalimatnya berhasil membuat langkahku terhenti dan semakin kesal. "Kau mempermalukanku hanya karena seekor Marmut?" semburku dingin.

"Maaf, tapi Marmut itu sangat berharga."

"Apakah seberharga itu sampai-sampai kau melakukan hal memalukan di hadapan banyak orang?"

"Mereka berjanji akan melepas binatang itu jika aku menuruti permintaan mereka."

Aku menggelengkan kepala, tak habis pikir dengannya. Kuhela napas panjang agar aku tak bicara dengan nada tinggi, walapun sebenarnya aku ingin sekali berteriak di depan wajahnya.

"Zora, aku tak mengerti denganmu. Kau mengambil ciuman pertamaku hanya demi Marmut. Sungguh, untuk pertama kalinya aku merasa direndahkan seperti ini."

"Maaf, jika aku mempermalukanmu, padahal...kau sudah peduli padaku," ujarnya. "Asal kau tahu, itu juga ciuman pertamaku."

"Dan kau menyerahkannya padaku dengan tujuan yang sia-sia!" tegasku semakin kesal.

ReinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang