Serangan

155 45 15
                                    

Dua minggu telah berlalu, seharusnya masa duka telah usai. Namun Zora masih mengenakan gaun hitam. Bukan hanya itu, akhir-akhir ini hampir semua pakaiannya di dominasi warna hitam, termasuk mantel hangatnya.

Selain itu, sikapnya juga jadi lebih dingin dan cenderung pendiam, seolah-olah kesedihan telah merenggut hari-hari cerahnya. Meskipun begitu, sikapnya padaku masih normal dan mesra seperti biasanya, membuatku sedikit lega.

Aku jadi bertekad untuk membuatnya kembali penuh warna seperti dulu. Dia yang suka sembarangan dan sedikit blak-blakan, kini aku merindukannya yang seperti itu. Dengan begitu, aku seperti tak memiliki batas apapun karena sikap terbukanya.

Hari ini, aku hampir tidur seharian dari pagi hingga sore, bahkan sampai melewatkan makan siangku. Kuusap rambutku yang basah setelah mandi sambil menikmati langit jingga yang sendu.

"Rein, ada yang ingin bertemu denganmu." Lagi-lagi Henry membuka pintu kamarku begitu saja tanpa permisi. Meskipun sudah terbiasa, namun ada kalanya aku sedikit sebal dengan kebiasaannya.

"Bisakah kau ketuk dulu pintunya?" tegurku halus namun dengan nada penekanan. "Bagaimana kalau tadi aku masih belum memakai baju?"

"Aha, tapi sekarang kau sudah rapi kan? Aku punya firasat kuat kapan harus membuka pintu kamarmu lho," sahutnya bangga.

Aku menghela napas dengan sabar sambil menggantung handuk basah di tempatnya. "Siapa?"

"Pangeran Charlotte," jawabnya. "Ia sudah menunggu di ruang tamu kita."

Aku terdiam sejenak, merasa aneh dengan kunjungannya. "Apa kau tahu alasannya kemari?"

"Tidak, tapi...aku merasa sepertinya ia ingin membicarakan sesuatu denganmu." Henry sudah memegang gagang pintu dan bersiap untuk pergi. "Sebaiknya kau temui dia. Aku akan berada di kamar selama kalian bicara."

Aku segera menuruni tangga, sementara Henry menuju kamarnya. Kulihat sosok Charlotte yang berdiri menghadap jendela membelakangiku.

"Ada apa kau mencariku?" tanyaku saat sampai di bawah.

"Oh, Rein. Akhirnya aku bisa bicara denganmu lagi," sahutnya menoleh. "Sebenarnya aku sedikit malas datang kemari, jadi akan kupersingkat saja. Kudengar kau memiliki hubungan dengan salah satu putri Keylion?"

"Apa kau datang hanya untuk menanyakan itu?"

"Tidak juga. Aku hanya ingin bilang ada kejutan yang menantimu, jadi bersiaplah." Ia menyeringai, wajahnya terlihat puas.

"Apa maksudmu?" Aku menatapnya sinis.

"Kau juga akan tahu nanti," jawabnya, lalu pergi begitu saja.

Aku terdiam dan mematung cukup lama. Ucapannya cukup mengusik dan membuatku dipenuhi tanya. Kejutan apa yang dimaksud?

"Apa biacaranya sudah selesai? Cepat sekali." Henry menuruni tangga. "Kenapa wajahmu begitu? Apa dia berulah lagi?"

"Aku tidak tahu," jawabku singkat, masih berpikir.

.

Malam harinya, tiba-tiba ada petugas Royale Institute yang datang ke asrama dan menemuiku. Aku dan Henry yang baru selesai makan malam, begitu terkejut dengan kehadiran mereka yang sangat mendadak.

"Kami membawa surat panggilan untuk pangeran Rein, silahkan datang ke gedung utama. Ada tamu dari kerajaan anda yang sudah menunggu."

"Siapa?"

"Anda akan tahu setelah sampai di sana."

"Baik, saya akan segera ke sana."

Aku meraih mantelku dan ikut bersama petugas yang memanggilku. Benakku dipenuhai rasa penasaran dan ada sedikit firasat buruk.

ReinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang