Bencana Dan Perang

143 43 26
                                    

Aku terduduk lesu dengan kepala terkulai di meja kerjaku, masih meratapi pernikahan Zora yang terasa seperti mimpi buruk. Hati ini masih menggetarkan kepedihannya meski pernikahan itu sudah berlalu selama dua hari.

Sepanjang pesta pernikahannya waktu itu, aku hanya menyendiri di tepi ruangan, menatap Zora dari sudut yang gelap dan melihatnya bahagia. Aku masih berandai-andai kalau aku yang bersanding dengannya.

Aku menghela napas sejenak lalu menuang teh ke dalam cangkir. Pikiranku kembali melayang pada masa-masa kebersamaan kami di Royale Institute. Kami yang saling berbagi rasa sakit di bawah air terjun dan juga berbagi kehangatan di goa yang dingin. Bagaimana mungkin aku bisa melupakannya? Rasanya...aku mengulang kembali masa-masa itu.

Aku tersenyum masam saat mengingat rona wajahnya dimana aku menggodanya, meskipun di timpali dengan kata-kata kasar yang lantang, namun ia terlihat menggemaskan.

"Yang mulia, cukup!"

Tubuhku tersentak saat Luna sudah menahan poci yang sedang kutuang.

"Perkamen di meja anda basah semua."

Mataku melebar saat kudapati meja kerjaku sudah banjir teh. Aku segera meletakkan poci itu seketika dan menyelamatkan beberapa berkas penting di meja. Tapi sayangnya...semua sudah basah kuyup.

"Ah, basah semua," gumamku panik, sementara Luna menatapku kecewa.

"Ini sudah yang ke lima kalinya sejak anda pulang dari pernikahan itu. Mau sampai kapan anda akan membuat para petinggi istana mengulangi pekerjaannya lagi?" Luna terdengar mendengus kesal sembari membereskan lembaran kertas yang kuyup.

"Ma, maaf. Lain kali, aku akan hati-hati."

"Anda sudah mengatakan hal itu sebanyak tujuh kali. Jika anda masih berkata lain kali, saya tak yakin pekerjaan anda akan beres. Semua ini adalah dokumen penting yang harus anda stempel. Apa anda tahu ini dokumen apa?" cecarnya, sambil mengangkat perkamen yang tulisannya sudah luntur tak terbaca.

"Maaf, aku...belum sempat membacanya."

"Oh astaga." Luna mencubit keningnya sejenak lalu membawa pergi semua perkamen yang basah. "Saya akan menuliskannya ulang."

"Beri aku sebagian."

"Masalah stempel saja anda tidak bisa fokus, apalagi menulis. Maaf yang mulia, saya tak bermaksud meremehkan kinerja anda, tapi ini sudah keterlaluan."

"Luna, aku yang telah merusak dokumen itu. Biar aku yang membereskannya."

"Maaf yang mulia, sebaiknya anda istirahat saja. Lagipula ini sudah jam tidur anda."

.

Keesokan harinya aku pun melakukan kesalahan di dalam rapat. Pikiranku belum pulih sepenuhnya dan membuatku melamun di hadapan banyak orang.

"Yang mulia, apa anda dengar apa yang saya katakan?"

Tubuhku mengerjap saat tuan Zern bertanya.

"Ya-yah, saya mendengarkannya," jawabku dusta.

"Lalu bagaimana menurut pandangan anda?" tanyanya lagi.

Aku menelan ludah semakin bingung. "Pandangan tentang apa?"

Semua mata menatapku tak percaya bahwa aku akan lengah di saat rapat. Mereka hanya menghela tanpa sepatah kata.

"Ma-maaf, hari ini saya tidak terlalu berkonsentrasi. Bisa diulang lagi penjelasannya?"

"Tapi saya sudah menjelaskannya dua kali," keluh tuan Zern.

"Maaf para hadirin, sepertinya...yang mulia kelelahan dan butuh istirahat. Jadi, saya mohon harap anda semua memakluminya." Luna menatapku dan memberi kode untukku agar menurut. "Sebaiknya, rapat kita akhir sampai di sini."

ReinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang