Hati Samudera

177 41 52
                                    

Sejak perdebatan kecil itu, hubunganku dengan bibi Erina mulai merenggang. Di saat kami tak sengaja berpas-pasan di jalan, kami hanya saling menyapa tanpa pembicaraan yang berarti. Aku tak tahu kenapa ia begitu menentang hubunganku dengan Zora.

Sejak Zora tinggal di sini beberapa waktu, itu sudah cukup mengembalikan hari-hari cerahku. Semangat dan cinta kembali tumbuh berkat kehadirannya, itulah yang membuatku tak bisa menerima pendapat bibi Erina begitu saja.

Aku melamun sejenak, merasa kesepian. Walau kehadiran Zora telah mengembalikan sebagian warnaku, tapi hubunganku dengan bibi Erina yang merenggang membuat istana terasa dingin.

Apalagi besok adalah hari ulang tahunku, biasnya ia sudah ribut menentukan pesta jika sudah mendekati harinya, tapi kini masih sunyi.

"Rein, kau baik-baik saja?" tanya Zora, menghampiriku di perpustakaan.

"Tentu saja. Aku hanya...sedang memikirkan beberapa hal mengenai pekerjaanku," jawabku berdusta.

Ia duduk di sebelahku, seperti berusaha menenangkanku. "Sesibuk apa pun, kau harus sesekali ke luar untuk menyegarkan pikiran. Apalagi, kudengar besok adalah hari ulang tahunmu. Ah, bagaimana kalau..." Zora tampak berpikir sejenak. "Malam ini kita pergi ke luar? Kudengar, Benriaco akan mengadakan perayaan hari besar."

Aku terdiam sejenak atas pendapatnya. "Yah, sesuai julukannya. Benriaco adalah surganya pesta rakyat. Tapi-"

"Sesekali kau harus merayakan ulang tahunmu dengan nuansa yang berbeda, kan? Dibanding menonton acara pesta dansa para bangsawan, sepertinya menari bersama rakyat biasa lebih menyenangkan."

"Itu sama sekali bukan ide yang buruk," sahutku tertarik. "Baiklah, nanti malam kita ke sana. Kita berpesta. Selain merayakan ulang tahunku, aku ingin merayakan pesta kelulusan yang tertunda bersamamu."

"Pesta kelulusan?" Zora mengangkat sebelah alisnya. "Aku bahkan tak pernah berpikir kalau kelulusan harus mengadakan pesta."

"Karena itu, sekarang cobalah berpikir ke situ." Aku menarik tangannya dan mendekapnya perlahan. "Nanti malam, kita harus menikmati pesta perayaannya."

Zora mengangguk senang. Yah, mungkin...nanti malam adalah waktu yang tepat untuk melamarnya, kehadirannya akan menjadi kado terindah pada ulang tahunku kali ini.

"Apa kau akan mengajak yang lain? Misalnya...seperti putri Erina?"

Aku berpikir sejenak, rasanya...sedikit mustahil ia mau menerima ajakanku jika aku pergi bersama Zora. Apalagi, renggangnya hubungan kami juga karena berbeda pendapat tentang gadis ini.

"Kita akan merayakannya berdua saja," jawabku akhirnya. "Aku...ingin menghabiskan waktu berdua bersamamu malam ini."

"Ka-kau...tidak berpikir untuk melakukan yang aneh-aneh kan?" tanyanya, sedikit salah tingkah.

Aku tertawa menggodanya. "Menurutmu?" seringaiku mengejek.

"Yah, aku akan memukulmu kalau kau macam-macam."

Aku tertawa lucu saat melihat pipinya sedikit merona. Ia sama sekali tak berubah. Rasanya...lama aku tak melihat sosoknya yang menggemaskan seperti itu.

"Tenang saja, aku tidak akan melakukan apa pun padamu." Aku melepas dekapanku sejenak. "Siang ini aku akan pergi sebentar, kau tak masalah kan jika kutinggal sendiri?"

"Kau sudah sering meninggalkanku di saat kau sedang bekerja. Kenapa masih bertanya?" tandasnya menohok dengan gaya bicara khasnya.

Ya, dia sama sekali tak berubah.

"Baiklah, bersiaplah untuk nanti malam," sahutku tersenyum.

.

Aku berkeliling ke toko perhiasan seorang diri. Tadinya aku ingin mengajak Luna untuk meminta pendapatnya, tapi sepertinya gadis itu tampak kurang sehat. Bahkan mimisannya seperti semakin parah saat tadi bertemu.

ReinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang