Kebebasan

255 47 22
                                    

Diatas pic. Vincent.. ^^

Suara dentuman menggema saat kami semua berjalan melewati aula utama setelah usai makan siang. Di sana ada seorang petugas yang sedang memaku papan kecil dalam daftar pelanggaran.

Suasananya begitu ramai, bukan hanya dari kalangan pangeran yang berkumpul untuk melihatnya, tapi juga dari kalangan tuan putri.

“Hari pertama sudah ada yang melanggar aturan?” gumam Vincent tak menyangka.

Kulihat sosok gadis memakai pita merah di lengannya, itu adalah simbol sebuah hukuman atas pelanggaran yang ia lakukan. Tapi yang membuatku terpaku gadis itu adalah—putri Zora. Gadis menyebalkan yang pernah menemuiku waktu itu.

Aku menatap papan kecil yang terpasang dan di sana menjelaskan bahwa gadis itu mabuk, itu adalah pelanggaran ringan tapi tetap saja akan memperburuk citra Keylion.

Suara bisikan menggema, sosoknya kini menjadi bahan pembicaraan dari kalangan para gadis yang tak menyangka atas perbuatannya.

“Bagaimana tuan putri sepertimu mabuk di malam pertama kau tinggal di sini?” tanya salah satu wanita paruh baya yang sepertinya—mentor di kelasnya.

“Saya memang mabuk semalam, tapi saya tidak minum anggur di area Royale Institute,” jawabnya membantah.

“Meskipun kau minum di tempat lain, tapi jika kau pulang ke Royale Institute dalam keadaan mabuk, tetap akan dianggap melakukan pelanggaran. Di tempat ini tidak boleh ada yang terlihat mabuk.”

Gadis itu terdiam sejenak dan menarik napas. “Maaf jika saya melakukan pelanggaran. Saya berjanji tidak akan pulang dalam keadaan mabuk lagi.”

“Apa setiap malam kau selalu mabuk?”

Ia menggeleng seketika. “Hanya—disaat-saat tertentu saja.”

“Apa kau sedang depresi?”

Zora terdiam sejenak lalu mengangguk. “Sedikit.”

Tak lama, semua kerumunan kembali membubarkan diri setelah tahu apa yang terjadi dan siapa pelakunya. Gadis itu masih menjadi perbincangan di kalangan tuan putri dan juga menjadi bahan candaan para pangeran yang juga mulai membubarkan diri.

Kini gadis itu berdiri sambil menatap papan di dinding, lalu menghela napas sejenak. Sementara aku masih memperhatikan sosoknya yang tampak sendu.

“Tidak apa-apa. Mereka hanya orang-orang yang tak tahu apapun,” gumamnya pada diri sendiri, kemudian tersenyum masam. “Yang perlu kau lakukan hanyalah berusaha kuat untuk menghadapi semua ini dengan baik.”

“Hari pertama sudah ada pelanggaran,” sahutku, berdiri di sisinya sambil menatap papan yang sama. “Aku tadi mendengarmu bergumam, dan kami memang orang-orang yang tak tahu apapun. Itu benar, siapa juga yang ingin tahu masalahmu?”

Ia tertawa miring dengan ekspresi yang sudah berubah. “Aku tidak tahu apa yang kau lakukan di sini sementara yang lain sudah kembali. Meskipun kau terlihat ingin mengejekku, tapi terima kasih sudah membenarkan kalimatku yang tak penting itu.”

Aku melipat tangan sejenak dan menatap papan itu lagi. “Kau bilang kau hanya mabuk di saat-saat tertentu, tapi sepertinya kau suka mabuk hampir setiap malam.”

“Dari pada kau mengurusiku, lebih baik kau urus sendiri masalahmu,” sahutnya dingin.

“Aku tidak tahu seberapa kuat kau minum anggur, tapi jika ada kesempatan aku ingin menantangmu.”

“Maaf, aku tidak tertarik. Aku minum bukan untuk berlomba,” sahutnya lalu tersenyum. “Terima kasih sudah mengajakku bicara.”

Ia membalikkan tubuhnya dan meninggalkanku begitu saja. Mataku menyipit seketika saat melihat cahaya merah berpendar di punggungnya.

ReinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang