Pecahan Trauma

177 48 7
                                    

Aku seperti diseret ke dalam lorong gelap dengan sangat cepat , lalu seberkas muncul di hadapanku. Begitu menyilaukan. Udara dingin mendekapku seketika dan kulihat ada salju bertebaran di mana-mana.

Aku tidak tahu kenapa aku bisa berada di tempat ini, seperti mimpi. Ini adalah musim dingin dimana langit menjadi suram dengan hamparan putih sendu yang membeku.

Suara ledakan menggema begitu ramai diiringi dentingan pedang yang saling bersautan. Bau anyir menyeruak di udara saat dua pasukan bertumbukan dan menciptakan genangan darah di atas salju.

"Tunggu, ini...perang musim dingin yang pernah terjadi di masa lalu," gumamku dalam hati.

Tanganku gemetar saat melihat dua sosok yang kukenal di antara pasukan. Mereka membantai pasukan lawan masing-masing dengan kalap sebelum akhirnya mereka berdua berhadapan berdua secara langsung.

"Ayah, ibu!"

Tubuhku hanya mematung saat mereka saling menyerang dan menyakiti. Luka sayatan bertebaran di sekejur tubuh mereka. Aku tidak mengerti dengan apa yang terjadi, namun yang membuatku terpaku saat pedang ayah menembus jantung ibu.

"Ratu kalian gugur! Menyerahlah!"

Dengungan suara kemenangan Vainea menggema tak lama setelahnya.

"Vainea menang!"

Seruan demi seruan menyebar begitu cepat dan pasukan Axylon berhasil dipukul mundur, sementara aku masih menatap dua sosok yang tak saling melepas satu sama lain dengan hati teriris. Ayah tampak kehilangan sedangkan ibu sudah tak bernyawa.

Tubuhku seperti ditarik dengan cepat dan sekelilingku terasa berguncang, membuatku sedikit mual. Rentetan peristiwa berkelebat layaknya kilat yang hendak memyambar. Aku menutup mata rapat-rapat.

'Sihir itu hanya bertahan selama sepuluh tahun. Setelah sihirnya hilang, waktu kalian pun berakhir.'

Suara anak perempuan menggema dan aku memberanikan diri untuk membuka mata. Kulihat wajah anak perempuan yang tampak asing. Tak lama, latar berganti dengan sangat cepat.

'Pangeran Rein adalah anak yang lahir setelah kematian. Dia seharusnya tak pernah ada di dunia ini.'

Semua peristiwa berkelebat sangat cepat sampai aku tak bisa memahaminya. Namun mataku menangkap sosok pria yang baru-baru ini kukenal, dia tuan Aleea.

Lalu, peristiwa kembali berubah dengan cepat layaknya kartu yang dikocok dan tanda sihir itu muncul. Tanda sihir yang sama seperti di punggung Zora.

"Rein, malam ini ayah dan ibu ingin tidur di kamarmu."

"Tidak, tolong jangan ingatkan aku pada peristiwa ini," racauku gelisah.

Latar kini berubah pada malam terakhir mereka. Aku yang masih bocah pada saat itu, dengan polosnya terlihat bahagia, tanpa kutahu bahwa itulah saat-saat terakhir bersama mereka.

Aku tahu aku sedang bermimpi. "Tolong siapapun bangungkan aku dari mimpi ini."

"Rasanya tak sabar melihatmu dewasa." Ibu tersenyum.

"Tidak! Tolong jangan katakan hal itu! Kalian bahkan meninggalkanku sebelum dewasa!" racauku lagi.

"Kami menyayangimu, nak." Ayah mengecup kening bocah kecil yang masih polos itu.

"Hentikan, tolong hentikan!" Aku mulai dilanda frustrasi.

"Tuan Fredy, ayah dan ibu kenapa?" Kini bocah bodoh itu tampak cemas. Ini adalah pagi yang paling kutakuti seumur hidupku. "Kenapa mereka tidak bangun? Apa ranjangku terlalu nyaman?"

ReinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang