Skandal

111 33 16
                                    

Malam semakin larut dan pesta semakin meriah. Aku berkali-kali menang saat memainkan beberapa permainan kartu dan itu membuat lawan mainku was-was untuk menghadapiku.

Jika aku bermain dengan pelayanku, sudah pasti ia akan membiarkanku menang. Tapi kami bermain sebagai sesama raja, tentu saja mereka takan mengalah. Ini benar-benar seru.

"Hei, kau tidak mau melihat istrimu bertarung? Dia sedang bermain adu pedang!" Raja Hans memberitahu.

"Adu pedang?" Seketika aku menghentikan permainanku. "Dengan siapa?"

"Zora."

Mataku melebar seketika dan segera meninggalkan permainan kartuku. "Yang benar saja!"

"Mereka ada di halaman dan para wanita sedang menontonnya beramai-ramai," lanjutnya.

Yang membuatku tergesa-gesa bukan karena penasaran dengan adu pedangnya, tapi aku lebih mencemaskan rencana Zora. Walau dia bilang takan mengacau, aku takut dia melakukan sesuatu yang membahayakan nyawa Luna.

Dan benar saja, suasana di halaman sudah ramai dengan dentingan pedang yang menggema. Aku langsung menerobos kerumunan untuk melihat adu tanding itu secara langsung.

Pertandingan yang aneh. Mereka adu pedang dengan gaun landai dan masih dengan jubah dan atribut ratu mereka, membuatnya terlihat seperti dua burung merak yang saling beradu.

Aku terdiam melihat dua sosok wanita yang sibuk dengan pergulatannya, suara dentingannya terdengar ramai dan menusuk telinga.

"Apa tidak apa-apa mereka adu pedang tanpa baju pelindung?" bisik salah satu penonton yang tak jauh dariku pada temannya. "Pedang yang mereka gunakan itu...pedang sungguhan, kan?"

"Aku juga sedikit khawatir," sahut yang lain. "Kalau salah satu dari mereka ada yang terluka sungguhan, bukankah akan menjadi konflik antar negara? Selain itu, perayaan 'Hari Para Raja' tahun ini pastinya akan tercoreng karena tragedi ini."

"Yah, semoga saja pertarungan mereka tak melebihi batas."

Ya, aku khawatir tapi aku tak bisa menghentikan mereka. Percakapan tadi benar-benar mengusikku hingga aku yang turut menyaksikannya pun harap-harap cemas.

"Bagaimana kalau kita taruhan?" Kini terdengar suara lain. "Sepertinya seru."

"Kalau begitu aku memilih Luna."

"Baiklah, aku akan memilih Zora. Kita lihat siapa yang menang."

Aku hanya membeku di tempat atas kesepakatan dua wanita itu. Tak kusangka ada yang menjadikan permainan mereka sebagai ajang judi.

Tapi...jika dilihat, Luna memang lebih unggul dari segi teknik dan gerakannya memang lincah. Ia bahkan bisa menggerakkan pedangnya dengan kecepatan diatas rata-rata, seperti mesin pemotong.

Sedangkan Zora, lebih fokus pada strateginya. Ia berkali-kali menghindar sambil mencari celah lawan. Saat mendapatkan kesempatan untuk menyerang, ia hampir saja mendapatkan kemenangannya jika Luna tak segera menutup celahnya.

Mataku menyipit untuk membaca situasi mereka. Ya, ada yang mencurigakan. Setiap jarak mereka dekat, Zora seperti mengatakan sesuatu dengan lirih, tapi tak bisa terdengar orang lain di sekitarnya, begitu pun dengan Luna.

Mereka seperti sedang membicarakan sesuatu di tengah pertarungan mereka. Zora lebih sering menunjukkan seringainya yang mencurigakan, sementara Luna tetap pada ekspresi tenangnya layaknya ksatria.

Entah apa yang mereka bicarakan, sepertinya wajah mereka semakin serius dan ritme serangannya semakin cepat tanpa celah hinga akhirnya Luna melakukan gerakan ekstrim dengan gaun landainya. Kejadiannya begitu cepat dan suara desingan yang sangat nyaring menggema.

ReinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang