Pencarian

150 41 16
                                    

Aku merenungkan semuanya selama dua hari pasca bencana itu terjadi. Mungkin...memang sudah waktunya aku kembali fokus pada kerajaanku.

Kini aku duduk di ruang rapat istana yang sepi, hanya berdua dengan bibi Erina. Bisa dibilang ini rapat pribadi yang bersifat pendisiplinan.

Bibi Erina terduduk bersandar dengan tangan terlipat, sementara aku duduk di kursi yang tak terlalu jauh dengannya.

"Bagaimana? Sudah sadar kesalahanmu?" cecarnya dingin.

"Aku...mengaku salah. Maaf atas keteledoranku," sahutku. "Bisakah bibi menceritakan situasinya sebelum aku bertemu dengan para petinggi istana?"

"Sebelum peristiwa ini terjadi, sebagian para petinggi memintaku untuk menggantikanmu dalam persetujuan atas tindakan yang akan mereka lakukan." Bibi Erina mulai bercerita. "Mereka memberitahu situasinya, terutama saat terjadi fenomena aneh di dasar laut."

Bibi Erina kini merubah posisi duduknya dan melipat tangan di atas meja. "Kau tahu, Rein? Bersyukurlah karena dalam musibah ini tak ada warga sipil yang tewas."

"Bagaimana bisa?" tanyaku heran.

Bencana sebesar itu seharusnya bisa merenggut ribuan nyawa warga sipil yang tinggal di wilayah pesisir. Ditambah, serangan dadakan dari Tryenthee yang tak terprediksi juga seharusnya bisa menambah korban.

"Saat tuan Edwin memberi laporan, para petinggi segera mengadakan rapat tanpamu untuk mengambil tindakan pecegahan." Bibi Erina kembali menjelaskan. "Luna memberi usul memindahkan seluruh warga yang tinggal di seluruh pesisir pantai untuk mengungsi di tempat yang tinggi. Dan mereka segera melakukan evakuasi tiga hari sebelum bencana itu datang."

"Jadi...saat Tryenthee menembakkan meriam, wilayah pesisir sudah kosong?" tanyaku, mencoba untuk mencerna penjelasannya.

Bibi Erina mengangguk. "Bencana ini... bisa dikatakan musibah dan anugerah. Kabarnya, Tryenthee menyerang kita dengan mengerahkan tiga puluh ribu pasukan. Dan gelombang itu menelan mereka semua, bahkan memporak-porandakan armada laut mereka saat pengepungan."

Ia menghela napas sejenak. "Tapi...kita kehilangan tiga Batalyon yang berjumlah tiga ribu orang dan juga...Luna yang memimpin di garis depan."

"Semua itu terjadi secara mendadak, baik serangan Tryenthee maupun bencana itu. Yah, meskipun sudah ada peringatan dini, tapi kita semua tak ada yang tahu kapan bencana itu terjadi. Dan kau tahu betapa paniknya para militan kita saat kapal-kapal Tryenthee datang dan menembakkan meriamnya? Semua terjadi begitu saja dan berlangsung sangat cepat di waktu yang bersamaan," lanjutnya.

"Kenapa kalian membuat strategi seperti itu? Kalian tidak menjadikan Luna sebagai korban kan?"

"Asal kau tahu, justru semua ini trategi dari bocah itu. Saat Tryenthee menyerang, tadinya Luna dan tuan Zern hendak maju ke garis depan dengan membawa lima belas Batalyon. Tapi begitu terjadi gempa bumi, Luna mengubah strateginya dan meminta tuan Zern untuk mundur dan menjaga benteng dari bencana dengan skenario penyelamatan yang sudah disepakati."

"Dan Luna meminta tuan Zern menarik mundur dua belas Batalyon dan menyisakan tiga Batalyon untuk menahan serangan Tryenthee sampai gelombang itu datang?" tanyaku, menebak alur strategi mereka.

Bibi Erina mengangguk. "Bagus lah kalau kau bisa menebaknya, berarti kau sudah waras dari kegilaanmu yang merugikan itu."

"Dan sekarang bagaimana kondisinya?" tanyaku, mengabaikan sindirannya.

"Kudengar, tiga Batalyon yang dibawa Luna gugur. Kita kehilangan tiga ribu nyawa dari kalangan prajurit dan Luna sendiri...masih belum ditemukan."

"Apa bibi yakin dengan laporan itu? Apa benar-benar tidak ada yang selamat?"

ReinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang