Patah Hati

124 34 8
                                    

Aku masih terdiam, merenungi perkataan Luna yang sedikit membuka pikiranku. Kuakui, kalimatnya sedikit menghiburku yang sedang kacau. Tapi...rasa sakit ini benar-benar membuatku tak berdaya.

"Luna, kudengar nanti malam ada pesta rakyat di Benriaco. Aku ingin ke sana," ujarku datar, setelah lama saling diam.

Luna mengatur laju kudanya untuk menyamai posisi keretaku. "Baik, saya akan mengantar anda ke tempat itu."

"Kita akan merayakan kelulusan di sana. Kau tidak keberatan kan?"

Luna termenung sejenak. "Saya tidak keberatan, tapi...kondisi anda sedang tidak baik. Apa tidak masalah untuk anda?"

"Justru ini adalah saat yang tepat. Aku perlu menghibur diri sejenak."

"Baik, yang mulia."

Ada banyak penolakan yang bergejolak dalam benakku, termasuk patah hatiku. Semua beradu dan menyangkal bahwa diriku terlalu naif. Aku tidak tahu apakah menangis merupakan kelemahan seorang pria atau tidak, tapi hati ini ingin menangis rasanya.

Kami sampai di wilayah Benriaco selatan saat matahari mulai terbenam. Aku meminta pengawalku untuk pulang lebih dulu dan kini aku berkuda bersama Luna setelah merubah penampilan dengan pakaian yang lebih sederhana.

Tak lama, kami sampai di sebuah bangunan yang tampak seperti mansion. Ini adalah penginapan yang terkenal di Benriaco selatan dengan fasilitas mewahnya.

"Kau pernah bilang ingin menraktirku kan?" ujarku, mendahului kuda Luna. "Jangan lupa nanti malam kau harus menraktirku dan aku akan membayar kamar penginapanmu."

"Baik."

Kami memasuki bangunan itu dan disambut dengan ramah.

"Kami pesan dua kamar."

Aku memberi dua kantung uang setelah petugas tadi memberi rincian biayanya.

"Ini kunci kamarnya," ujarnya ramah. "Selamat menikmati liburan anda."

Kuberikan satu kunci pada Luna dan kami bergegas ke kamar masing-masing untuk beristirahat. Aku membanting tubuhku ke tempat tidur yang terasa nyaman dengan pikiran kosong.

Bayangan Zora masih berkelebat dalam ingatanku, kembali membangkitkan kesedihan yang tak bisa kuhindari. Mataku kembali berkaca-kaca, saking sedihnya, air mataku menetes satu dalam pembaringanku.

Ya, aku rindu Royale Institute berkat kebersamaan kami di kala itu.

.

Aku terbangun saat pintu kamarku diketuk. Tak kusangka ternyata aku menangis sampai tertidur.

"Masuk saja! Biasanya juga kau selalu masuk tanpa-" aku terdiam sejenak, lupa bahwa saat ini aku berada di penginapan bersama Luna.

Sial, gara-gara terlalu mengenang Royale Institute, aku sampai tak sadar kalau aku sudah lulus. Bahkan mengira yang mengetuk kamarku adalah Henry.

"Sungguh saya boleh masuk?" sahut Luna di luar sana.

"Tunggu, tunggu." Aku segera bangkit dan bercermin, dan sialnya mataku sembab. "Katakan saja, ada perlu apa?"

"Sudah waktunya makan malam, yang mulia. Bukankah anda ingin saya traktir?"

Satu kesadaran kembali menamparku hingga aku mulai ingat. Sialan, patah hati membuatku pikun dan linglung.

"Maaf, aku baru bangun tidur," sahutku tanpa membuka pintu. "Kau mau menunggu?"

"Tidak masalah, yang mulia."

Aku segera mandi dan bersiap-siap. Malam ini aku hanya memakai kemeja sederhana tanpa jubah luar. Tak kusangka, di luar sana sudah sangat ramai oleh para penduduk yang hendak berpesta.

ReinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang