Penobatan

154 45 18
                                    

Mataku terbuka perlahan saat Matahari hampir terbit. Jika dibilang, aku hanya tidur sebentar tapi terasa lama. Aku melonjak saat kusadari di sampingku tidak ada siapa-siapa, yang berarti Luna sudah bangun lebih dulu.

Aku menjuntaikan kaki ke lantai dan bangun menuju kamar mandi untuk membasuh wajah. Walau hanya tidur sebentar, tapi sudah cukup untuk membuatku merasa segar. Setelah ini, aku berniat untuk mencari Luna, mungkin saja dia sudah bersiap di meja makan.

Tubuhku terhenti seketika saat kudapati sosoknya tengah berendam di bak. Wajahku langsung memanas saat melihat punggungnya yang tak tertutup kain sedikit pun. Ada sedikit perasaan aneh yang menggodaku sesaat.

"Luna?"

Gadis itu menoleh seketika dan hampir menjerit. Dengan cepat ia membenamkan seluruh tubuhnya ke air hingga menyisakan kepalanya saja.

"Yang mulia, ma-maaf saya memakai bak mandi anda tanpa ijin," katanya dengan tempo yang cepat.

Aku terdiam sejenak atas reaksinya. Ia masih begitu kaku walau kami sudah bersama.

"Bagaimana? Apa terasa nyaman?" Aku mendekatinya perlahan dan ia semakin meringkuk di dalam air.

"Ya-yah, terasa nyaman," sahutnya dengan wajah merona ketika aku sampai di tepi bak.

"Maaf karena kemarin aku meninggalkanmu sendirian di kamar. Seharusnya aku menemanimu."

"Tidak masalah, yang mulia. Saya mengerti situasinya tak kondusif." Ia menunduk sejenak. "Seandainya saja saya bisa membantu anda."

"Kau sedang terluka. Aku juga takan memberimu ijin untuk bertarung jika terjadi sesuatu. Lagipula, semalam memang tak ada serangan susulan, jadi cukup memperketat keamanan saja."

Aku yang tadi hendak membasuh wajah, kini tertarik untuk melepas pakaianku. Ia segera memalingkan wajahnya yang merah saat kubuka pakaianku satu per satu, lalu aku ikut membenamkan diri ke air.

"Airnya hangat. Apa tadi para pelayan masuk untuk menyiapkannya?"

"Tidak, saya yang menyiapkannya sendiri."

Aku terbelalak mendengar penuturannya. "Kau yang menyiapkannya sendiri? Kenapa tidak meminta pelayan untuk menyiapkannya?"

"Saya sudah terbiasa menyiapkan air hangatku sendiri. Lagipula ini hanya masalah air untuk mandi, tentu saja harus disiapkan sendiri."

Ya, itu satu poin lagi darinya yang baru kutahu, ia suka menyiapkan air mandinya sendiri. "Untuk putri bangsawan setingkat adipati, ternyata kau cukup mandiri."

Ia terkekeh. "Anda terlalu berlebihan, yang mulia. Ini hanya masalah kecil."

"Lalu apa lagi yang biasa kau lakukan sendiri? Apa menyiapkan makanan sendiri juga termasuk?"

"Kakek saya akan uring-uringan jika saya sampai menyentuh dapur," jawabnya tersenyum simpul. "Sebenarnya tak banyak yang bisa saya lakukan sendiri. Hampir sebagian beberapa keperluanku disiapkan oleh pelayan. Paling...hanya beberapa keperluan pribadi saja yang saya lakukan sendiri, seperti mandi dan ganti pakaian misalnya."

Aku manggut-manggut. Biasanya perempuan akan dibantu oleh pelayan sepenuhnya bahkan termasuk memakai pakaiannya yang rumit itu.

"Bagaimana dengan lukamu? Seharusnya itu belum boleh terkena air, kan?" tunjukku pada perban yang membalut lengannya.

"Saya tak tahu obat apa yang digunakan, tapi sepertinya ampuh untuk mengeringkan luka dengan cepat, jadi tak terlalu pedih saat kena air. Obat yang luar biasa, yang mulia." Ia menyentuh lukanya sendiri untuk memastikannya. "Ternyata pengobatan di istana semujarab ini."

ReinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang