Serangan Dua Sisi

122 34 12
                                    

Katanya, pagi hari merupakan awal yang baru. Sepertinya itu benar. Ini awal baru dimana penderitaanku dimulai. Setelah ini hidupku akan dipenuhi kutukan sebagai hukuman dan kali ini, mungkin aku takan mendapat pengampunan.

Semua para tamu dari penjuru dunia mulai berpamitan dan bersiap untuk pulang ke kerajaan mereka masing-masing, begitu pun denganku. Di antara puluhan penguasa, mungkin hanya aku yang tak memberi penghormatan terakhir pada tuan rumah.

"Padahal Matahari begitu cerah, tapi kenapa aku merasa kedinginan di dekatmu?" sindir raja Leon dengan nada bercanda, sementara aku tak merespon. Lalu ia menatap putranya yang baru saja datang. "Kau juga tampak muram, Hans."

"Aku sedikit lelah," sahutnya ikut bergabung.

Raja Leon menepuk bahu putranya yang tampak lesu, kemudian ia terdiam sejenak lalu menyeringai. "Kau semalam bercinta penuh semangat?"

Raja Hans segera menepis tangan ayahnya dengan wajah malu. "Jangan sembarangan membaca pikiranku, ayah."

Sepertinya...Zora memang memberi obat di minuman para raja. Sungguh, itu benar-benar kegilaan di luar batas.

"Kau tak perlu malu begitu, aku lebih mengerti dengan perasaan yang seperti itu." Ia terkekeh. "Lalu bagaimana denganmu, Rein? Apa semalam kau meninkamti malammu?"

Kali ini raja Leon menepuk bahuku. Senyumnya memudar digantikan dengan wajah yang menatapku serius.

"Jika anda mengetahui sesuatu, tolong rahasiakan," ujarku formal tanpa ekspresi.

"Pikiranmu sangat kelabu, dipenuhi amarah, rasa bersalah dan penyesalan. Kesalahan apa yang telah kau perbuat?"

"Yang mulia, kereta kudanya sudah siap," ujar pengawalku melerai pembicaraan kami.

Aku mengagguk sejenak merespon pengawalku, lalu berkata pada raja Leon. "Apa pun itu, tak ada urusannya dengan anda. Permisi, yang mulia."

Aku berjalan menuju kereta kuda bersama pengawal yang tadi memberitahuku.

"Dimana yang mulia ratu?"

"Beliau sudah ada di dalam."

Jantungku berdegup kencang. Aku seperti tak siap untuk berhadapan dengannya tapi aku juga tak bisa menghindarinya. Kali ini, apa dia akan menghadapiku dengan wajah tenangnya? Apa kali ini dia akan mempercayai ucapanku? Lebih tepatnya...apa kami bisa bicara baik-baik?

Aku tahu, Luna adalah pendengar yang baik. Seharusnya...aku takan kesulitan untuk menghadapinya dan memberi penjelasan padanya mengenai peristiwa semalam.

Pintu kereta kuda terbuka dan aku masuk ke dalam. Di sana, kami duduk berhadapan tapi ia memalingkan wajahnya, menghadap ke luar jendela dengan tatapan kosong. Kulihat, telapak tangannya sudah dibalut perban, sama sepertiku. Masih ada sisa noda darah di sana.

Kereta kuda perlahan bergerak dan kami mulai melakukan perjalanan pulang.

"Luna," panggilku hati-hati. Ekspresinya begitu dingin dengan wajah sedikit pucat dan mata yang sayu. "Maafkan aku."

"Saya melihatnya," sahutnya singkat dengan bahasa formalnya.

"Luna-"

"Setelah acara penutupan, anda tiba-tiba pergi diluar sepengetahuan saya. Saya mencari anda seperti orang gila, lalu para pelayan memberitahu saya kalau anda ada di kamar Zora. Saya begitu mengkhawatirkan anda. Saya sudah siap untuk bertarung jika sampai terjadi sesuatu yang membahayakan nyawa anda. Tapi..." Ia berhenti sejenak. Air matanya menetes satu di wajahnya yang tanpa ekspresi. "Saya hancur seketika saat anda mengutarakan perasaan cinta anda padanya dan menghabiskan malam bersama."

ReinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang