___Lima Puluh Tahun Kemudian___
---Kota Luna---
'Aku mencintaimu pada pandangan pertama. Aku mencintaimu untuk kedua kalinya. Aku juga mencintaimu di kehidupanku sebelumnya. Gapailah tanganku, maka kau dan aku akan terus bersama.'
Aku memakai kacamata dan syal merah yang warnanya telah pudar. Kugenggam sebutir Mutiara dengan uap putih yang menguar dari mulutku. Kurapatkan jaket beserta topiku untuk menutupi sedikit wajahku, lalu memasukkan Mutiara itu ke saku.
Vainea kini semakin maju seiring perkembangan jaman. Generasi pemerintahan telah berganti setelah aku memutuskan turun tahta dan memalsukan kematianku. Akhirnya bibi kesayanganku menikah juga, walau sangat sulit untuk memenuhi kriterianya. Terkadang aku rindu pada suasana di istana karena banyak kenangan yang tertinggal di sana.
Bibir Erina membangun perpustakaan besar di pusat kota sebagai tempat tinggalku yang baru. Tak ada yang bisa mengenaliku setelah aku mengubah penampilanku. Walau umurku sudah tujuh puluh tahunan, tapi fisikku masih terhenti di usia dua puluh satu. Itu juga sedikit menguntungkan karena takan ada rumor miring tentangku sebagai mantan seorang kaisar yang mendapat hukuman ritual.
Kutatap goresan di telapak tanganku. Garisnya sudah hampir pudar, yang berarti...hukumanku sebentar lagi selesai. Tubuhku akan menua secara normal dan ingatanku akan mengubur seluruh kenangannya. Hatiku pun sudah pasrah di tengah hamparan putus asa.
Aku berjalan menuju monumen di tengah kota sambil membawa seikat Mawar putih untuk memperingati hari kematiannya.
Tak butuh waktu lama untuk sampai di sana. Suasana mulai sepi dan tempat itu sudah dipenuni Mawar putih. Aku menatap patung di hadapanku sejenak sebelum meletakkan Mawar putihku, lalu membaca tulisan yang terukir di bawahnya layaknya prasasti.
'Kini tinggallah sosok diriku yang menangisimu di dalam hati. Merindukanmu dalam sepiku dan mencintaimu dalam nestapaku. Istirahatlah dengan baik dan jangan hiraukan diriku yang kau tinggalkan dengan patah hati'
Ya, aku tahu itu puisi yang buruk, tapi tulisan itu berasal dari hatiku untuk mengenangmu.
"Lihat, aku...memakai syal yang kau berikan. Setiap musim dingin aku selalu memakainya agar kita terlihat romantis. Tapi..." Mataku tanpa sadar berkaca-kaca. "Aku belum pernah sekali pun melihatmu memakainya."
"Luna, aku rindu," lirihku yang mungkin...untuk yang ke ratusan kalinya. Aku sadar betul bahwa aku akan menjadi pria kesepian yamg menunggu mati. "Tidakkah kau datang untuk membawaku pergi bersamamu? Walau pun aku masih terlihat muda, tapi sebenarnya aku ini pria tua yang masih menunggumu."
"Tuan Wayner."
Aku mengabaikan panggilan seorang wanita yang entah siapa, karena aku tak ingin menoleh. Tepatnya...aku tak ingin ada orang lain yang melihat air mataku yang tengah menetes.
"Tuan Wayner?" panggilnya lagi, tapi aku masih bergeming.
"Rein." Kali ini ia memanggilku lirih, tapi tepat di belakang punggungku.
Aku menoleh seketika saat ia memanggil namaku. Aku bersumpah seharusnya tak ada yang tahu namaku setelah aku mengganti identitasku, kecuali keluarga kerajaan. Itu pun aku yakin mereka takan membocorkannya.
Tubuhku mematung dengan wajah syok saat kudapati gadis berambut hitam di gelung dan memakai topi besar. Ia tersenyum tapi matanya berkaca-kaca.
"Masih ingat aku?" tanyanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rein
FantasyIni adalah buku ke 3 dari seri Assassin, sangat disarankan untuk membaca 2 buku sebelumnya untuk mengurangi kesalahpahaman alur.. Kegelapan malam telah menyisakan sebuah penyesalan untuk memejamkan matanya. Rein, mencoba menyelidiki kasus kematian o...