Aku duduk di meja kerjaku dengan frustrasi saat pihak Brixia menyampaikan bahwa mereka tak memiliki bunga itu. Pihak Axiandra juga mengaku kalau mereka tak pernah memanen bunga itu karena medan yang sulit.
Semakin hari kondisi Luna semakin memburuk, dan kudengar ia sudah kehilangan penglihatannya, sementara pencarianku belum membuahkan hasil. Terkadang aku berpikir, apa perlu aku yang memanjat tebing maut itu?
Tapi sekali lagi, bunga itu hanya tumbuh pada musim dingin. Masih terlalu jauh untuk sampai pada musim itu.
Sial, aku harus bagaimana? Luna memegang peran penting di Vainea, dan itu...membuatku tak ingin kehilangan dirinya.
Aku meninggalkan ruang kerjaku yang terasa penat. Berkuda dengan cemas dan bermaksud untuk mengunjungi gadis itu. Aku penasaran, sudah separah apa kondisinya.
Tak butuh waktu lama untuk sampai di kediaman adipati. Bangunan itu menyerupai mansion yang tampak mewah, namun...sepi. Walau ditata dengan rapi, aku bisa merasakan kesunyian di dalamnya.
"Selamat datang di kediaman Fredy, yang mulia," sambut penjaga gerbang.
"Saya ingin bertemu dengan tuan Fredy sekaligus mengunjungi nona adipati."
"Baik. Silahkan masuk."
Aku diarahkan pada sebuah pintu utama bangunan itu, dan tak lama pintu itu terbuka dengan beberapa barisan para pelayan yang menyambutku.
"Selamat datang, yang mulia."
Aku menuruni kudaku saat tuan Fredy sendiri yang menyambut kedatanganku. Ya, ini pertama kalinya aku mengunjungi kediaman adipati. Walau masih kalah megah dengan mansion di istana, tapi tempat ini terlihat memukau.
"Saya datang kemari ingin melihat langsung kondisi nona Fredy," ujarku sopan. "Apakah saya diijinkan untuk bertemu dengannya?"
"Ya-yah. Silahkan, yang mulia," sahut pria tua itu. "Saya akan mengantarkan anda padanya."
Aku melangkah mengikuti tuan Fredy yang kini berjalan menggunakan tongkat. Sesekali aku mengedarkan pandangan menikmati keelokan furnitur di tempat ini. Sepertinya...tuan Fredy gemar mengoleksi barang-barang unik yang langka. Bahkan aku bisa melihat cangkang kerang raksasa yang terpajang cantik di salah satu lemari.
"Luna ada di taman bunga miliknya." Tuan Fredy mengajakku ke sebuah pagar rimbun yang dirambati oleh tanaman, jalurnya seperti memutar membentuk lingkaran.
Tak lama, kami sampai di depan pintu yang membuat taman ini seperti taman rahasia. Lalu ia membuka pintu yang tampak unik itu.
"Ini adalah taman rahasia miliknya. Silahkan masuk, yang mulia."
Aku hanya manggut-manggut. Jadi benar, ini taman rahasia.
Pintu itu terbuka dan buluku meremang saat memasuki taman itu. Aku tercengang dengan apa yang kulihat saat ini, membuatku mematung cukup lama. Napasku tercekat saat mengedarkan pandangan ke sekeliling dengan hati yang terasa ingin menangis.
Ini adalah...taman Mawar Putih dimana ibu selalu menemuiku di dalam mimpi. Tata letak, warna dan suhu udaranya benar-benar mirip, membuatku merasa tempat ini tak asing lagi. Rasanya...aku seperti masuk ke dalam mimpi untuk bertemu dengan ibu.
"Jadi...ini taman bunga milik Luna?" gumamku masih terpana. Tak menyangka jika taman bunga yang ada di mimpiku, ternyata benar-benar ada.
"Benar, yang mulia. Luna sangat menyukai Mawar Putih dan membuat taman ini," jawab tuan Fredy, masih mengamati ekspresiku. "Luna ada di sana."
Napasku terhenti beberapa saat, ketika kudapati kursi panjang yang juga...tak asing. Di mimpiku, ibu selalu duduk di kursi panjang itu sambil menimang Mawar Merahnya. Kini sosok yang duduk di kursi itu adalah Luna, membangkitkan dejavu dengan nuansa yang berbeda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rein
FantasyIni adalah buku ke 3 dari seri Assassin, sangat disarankan untuk membaca 2 buku sebelumnya untuk mengurangi kesalahpahaman alur.. Kegelapan malam telah menyisakan sebuah penyesalan untuk memejamkan matanya. Rein, mencoba menyelidiki kasus kematian o...