Sepasang Penyihir

137 40 20
                                    

Seminggu telah berlalu sejak kepulanganku ke Vainea. Aku masih menunggu surat balasan dari Zora, hanya itu satu-satunya pengobat rinduku. Tapi sayangnya, surat darinya belum kunjung datang, membuatku bertanya-tanya apa suratku sampai padanya?

Aku berkuda sambil melamun, menahan gejolak rindu yang membuatku gelisah akhir-akhir ini. Setidaknya aku perlu tahu bagaimana kabarnya di sana, apa dia menjalani hari-harinya dengan baik atau tidak. Rasanya ingin sekali berlari untuk menemuinya.

"Yang mulia!"

Aku mengerjap kaget saat Luna berteriak. Butuh waktu untuk sadar kalau aku menabrak seorang wanita. Kudaku meringkik keras saat wanita itu tersungkur.

Aku turun dari kuda dan menghampiri sosok itu dengan cemas. "Anda baik-baik saja, nyonya?"

Wanita itu awalnya terlihat marah, namun ekspresinya berubah saat melihatku. "Ka-kau?"

"Lavina! kau baik-baik saja?!" Seorang pria paruh baya yang seumuran dengannya tampak khawatir dan membantu wanita itu berdiri.

"Lavina?" Mataku menyipit sejenak saat nama itu terdengar familiar. "Itu...nama Necromancer wanita yang pernah dikatakan Zora," gumamku dalam hati.

Mataku melebar saat mengenali pria itu. "Tuan Aleea?"

"Ah, yang mulia. Maaf kalau istri saya menghalangi kuda anda."

"Oh, jadi istri anda?" tanyaku, masih tertegun. Apakah namanya memang kebetulan sama? Atau...apa dia Lavina yang sama dengan penyihir yang pernah diceritakan Zora padaku?

"Kenapa kau minta maaf? Bocah itu yang menabrakku!" maki wanita itu pada suaminya.

"Sekali lagi saya minta maaf, nyonya. Saya yang kurang hati-hati."

"Tunggu, kau..." Wanita yang tadi menatapku kini berpaling pada suaminya dan berkata, "apa dia anak yang lahir setelah kematian itu?"

Aku semakin mematung saat mendengar kalimat yang tak asing itu. Kalimat yang pernah muncul dalam mimpi burukku.
Tuan Aleea mengangguk dan membuat darahku berdesir sesaat.

"Siapa kalian sebenarnya? Dan apa maksud dari ucapan kalian?" semburku dengan dada sesak.

"Bagaimana? Apa kita perlu memberitahunya?" tanya Tuan Aleea pada istrinya.

"Yah, apa boleh buat. Ayah dan ibunya juga sudah mengenal kita dan pernah mengundang kita di acara kelahiran anak ini," jawab Lavina atas pertanyaan suaminya.

"Begini bocah, jadi-"

"Dia putra mahkota. Panggil dia dengan benar," tegur suaminya.

"Ah, aku lebih nyaman memanggilnya 'bocah'. Lagipula dia memang masih bocah jika dibanding dengan usia kita," jawabnya, lalu menatapku. "Aku Lavina dan ini suamiku, Aleea."

"Siapa kalian sebenarnya?" tanyaku mengulang.

"Bukankah aku sudah menjawabnya dengan nama?"

Astaga, ternyata wanita ini cukup menyebalkan. "Apa...kalian Necromancer?" tanyaku tanpa basa-basi lagi.

"Menurutmu?"

Aku menghela napas sejenak, menumpuk kesabaranku. "Tolong jawab aku, nyonya."

Mereka saling berpandangan sejenak, lalu nyonya Lavina menatap Luna sekilas. "Jika kau ingin mengetahui sesuatu tentang kami dan orang tuamu, temui kami kapan saja di hutan Zenia bagian barat."

Mataku menyipit sejenak. Hutan Zenia adalah hutan di dekat perbatasan Benriaco dan wilayah itu dikenal dengan hutan larangan. Apa mereka ingin menjebakku?

ReinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang