Di Tanah Seberang

183 44 28
                                    

Kami berlayar menuju tanah seberang setelah dua hari acara penobatan. Beberapa pengawal sudah menunggu di pelabuhan dengan menyiapkan kereta kuda. Di sana sudah ada tuan Dary dan juga Eleanor.

"Salam hormat, yang mulia," ucap tuan Dary mewakili, lalu semuanya membungkuk hormat. "Selamat atas penobatan anda. Akhirnya anda telah resmi menjadi raja Vainea."

"Terima kasih, tuan," sahutku, lalu menatap wanita di sampingku. "Luna, ini tuan Dary dan nona Eleanor. Mereka adalah calon adipati baru di Vainea."

"Salam untuk yang mulia ratu," ujar tuan Dary lagi. "Senang bertemu anda."

"Terima kasih, tuan. Tapi..." Luna tampak mengingat sejenak. "Bukankah, anda salah satu pemimpin pasukan di Benriaco?"

Aku terdiam, sebagai mantan adipati sangat wajar kalau Luna juga mengetahui orang-orang dari kerajaan tetangga, terutama di bidang militer.

"Ya, anda benar, yang mulia. Untuk penjelasannya, anda bisa bertanya pada yang mulia raja."

Luna menatapku sekilas, seperti menuntut jawaban. Lalu ia kembali memasang ekspresi ramah elegan khasnya setelah aku memberi kode untuk menjelaskannya nanti.

"Lalu...nona Eleanor?"

"Ya, yang mulia."

Ia tersenyum. "Anda mengingatkan saya pada masa lalu. Saya juga dulu sama seperti anda."

"Tidak Luna, dia berbeda denganmu. Saat kau menjadi adipati, kau jauh lebih bisa mengendalikan diri dan menjaga wibawamu, tidak seperti dirinya yang urakan," protesku hanya dalam hati.

"Benarkah? Apa itu berarti anda suka bermain pedang?" Eleanor tampak antusias.

"Ya," jawabnya. "Lain kali, kita berlatih bersama."

"Kapan pun yang anda inginkan, saya siap, yang mulia."

Aku ingin sekali mencibirnya, namun harus kutahan. Di hadapan Luna, gadis itu bersikap profesional.

Ah, mungkin saja sikapnya berubah karena kini pangkatku sudah naik, dan tentu saja sikapnya berubah agar tak menimbulkan masalah. Bagus lah!

Kami menaiki kereta kuda dan mulai berjalan menuju ibukota.

"Daratan ini sangat luas, butuh waktu hampir dua harian untuk sampai di sana," ucapku memberi tahu.

"Yah, daratan Tryenthee memang sangat luas. Saya tak bisa membayangkan perang seperti apa yang telah anda alami. Sudah pasti itu perang yang sangat besar dan sayangnya, saya tak ikut andil di dalamnya."

"Selain untuk membalas serangannya terhadap Vainea, semua ini...juga karenamu, Luna." Aku mengaku. "Saat kutahu kau terkena racun itu, jujur aku takut sekali kalau kau akan pergi meninggalkanku."

Ya, lebih tepatnya aku sudah merasakan sakitnya bagaimana dia meninggalkanku di hari itu. Bahkan bayangan kematiannya terkadang masih menghantuiku.

"Aku marah atas apa yang telah mereka lakukan padamu. Ya, walaupun kau meminum racun itu untuk melindungiku. Tetap saja, aku tak terima."

"Terima kasih banyak, Rein. Sebenarnya sa-maksudku...aku tidak mengerti kenapa kau begitu takut kehilanganku. Padahal saat itu, hatimu telah di isi orang lain," ujarnya. "Maaf bukannya aku kembali mengingatkan patah hatimu, hanya saja..."

"Kau takut aku hanya menjadikanmu pelarian atas patah hatiku?" ujarku memotong. "Jika dilihat situasinya, mungkin terkesan begitu. Tapi...hatiku kini benar-benar tertuju padamu."

"Awalnya aku memang ragu. Tapi setelah kita melakukan ritual pernikahannya, keraguanku memudar perlahan. Kau tak mungkin melakukannya jika tidak mencintaiku, kan? Aku yakin kau bukan sosok yang akan main-main dengan hal sakral seperti itu."

ReinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang