Mencari Jalan

183 47 13
                                    

Aku berdiri di tengah taman Mawar putih yang tampak asing. Meskipun bingung, namun aku tak sanggup berkata. Udara di sini terasa sejuk dan nyaman.

Kulihat seorang wanita yang duduk di kursi, membelakangiku. Aku mengenali postur tubuhnya dan gaya rambutnya yang tak asing. Ibu.

Pikiran rasionalku mengatakan, kalau sosok ini muncul di hadapanku, berarti ini hanya mimpi.

Aku mendekatinya perlahan dengan hati bergetar sedih. Rinduku terasa menggelegak layaknya air bah. Ia sudah menoleh sebelum aku sampai padanya, lalu tersenyum melihatku.

Di tangannya terdapat setangkai Mawar merah kesukaannya. Sangat aneh melihat warna merah di tengah hamparan Mawar putih.

"Rein."

Napasku tercekat saat ia memanggil namaku.

"Ibu senang melihatmu dewasa. Tapi..." Ibu terdiam menatapku tersenyum sendu. Ia tak melanjutkan kalimatnya.

"Tapi?" tanyaku penasaran.

Ia masih terdiam, lalu berkata, "Sini, duduklah nak!"

Tangannya terbentang untuk menyambutku agar aku duduk di sisinya. Aku terduduk dan masih menatapnya lekat, berharap sosok ini takan hilang selamanya dari pandanganku.

"Apa yang ingin ibu katakan?"

Ia kembali tersenyum...sedikit masam. "Ibu ingin melihatmu bahagia."

"Sejak kalian meninggalkanku, sampai sekarang aku masih merana," ujarku jujur, masih berpegang teguh pada pikiran rasionalku.

Kali ini ia tersenyum sedih dan menyentuh bahuku. Sentuhannya sangat terasa nyata dengan aroma Mawar merah yang kuat. "Maaf, Rein."

"Tidak, ibu tak perlu minta maaf," lirihku sedikit parau. "Aku lah yang tak menyadari kalau kalian akan pergi waktu itu. Aku..." Kuhela napas sejenak yang terasa sesak. "Aku hanya belum siap kehilangan. Tapi seharusnya aku mulai merelakan apa yang terjadi."

"Ibu percaya kau anak yang kuat. Bahkan detik ini pun, kau menyadari bahwa kehadiranku hanya mimpi. Rasionalmu benar-benar tak bisa ditembus oleh apapun. Itu sudah menunjukan kalau kau tak mudah goyah."

"Tapi aku senang bisa melihatmu walau hanya mimpi. Hanya di sini, sentuhanmu terasa nyata." Aku menyentuh tangannya yang masih di bahuku, kemudian mengarahkannya ke pipi dan mengecup telapak tangannya. "Aku sangat rindu."

Ibu tersenyum lembut. "Kami mencintaimu, Rein." Ia memberikan setangkai Mawar merah di tangannya padaku.

Tiba-tiba udara berubah dingin saat aku menerimanya. Kulihat semua Mawar putih di taman telah berubah warna menjadi semerah darah. Angin bertiup kencang dan menerbangkan semua kelopak Mawar di taman.

Tubuhku melayang ke atas bersama taburan kelopak Mawar merah yang bertebaran di udara, sementara ibu masih menatapku hangat dengan senyum lembutnya.

"Kami mencintaimu," ujarnya, mengulang kalimatnya.

.

Aku membuka mata saat mimpi itu berakhir. Aku memegangi keningku yang terasa sedikit pening, namun di sana sudah ada kain yang menempel.

Kulihat di sampingku sudah ada gadis yang terbaring membelakangiku. Butuh waktu sejenak untuk mengingat kejadian semalam.

Ya, aku menciumnya dan setelah itu aku tidak ingat. Kini gadis itu tidur dengan tubuh hanya tertutup selimut, membuatku berpikir keras sekali lagi. Apa semalam aku melakukan sesuatu di luar batas?

"Zora?" Aku mengguncang bahunya lembut.

Ia meregangkan tubuhnya sejenak dan berguman dengan mata masih terpejam. "Beri aku waktu sebentar lagi. Aku lelah sekali."

ReinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang