Hutan Dan Hujan

208 47 13
                                    

Aku masih menunggunya untuk selesai makan siang. Dari cara makannya yang lahap membuatku tahu kalau dia belum makan dari pagi. Kulirik sekali lagi tubuhnya yang hanya memakai dress mini, menampakkan bahunya yang sedikit memar. Mungkin tak sengaja terbentur.

Kuedarkan pandangan sejenak, hanya hutan belantara yang tampak lebat. Tak ada jalan setapak sama sekali, yang berarti...tempat ini tak terjamah oleh Manusia. Ini akan sedikit menyulitkan kami untuk kembali. Aku juga tidak tahu seberapa luas hutan ini.

"Rein, sepertinya mau turun hujan lagi."

Aku menatap langit saat mendengar kalimatnya, begitu temaram di pertengahan hari yang seharusnya cerah.

"Kita harus segera pergi dari sini. Setidaknya kita harus cari tempat berlindung sebelum hujan turun."

"Ya."

Aku sudah menggenggam ranting berukuran sedang untuk membuka jalan. Kabut mulai menutupi sebagian kawasan hutan yang kami lalui dan udara terasa dingin. Kutatap pohon jenjang yang menjulang tinggi dan mengamati sekitar.

"Apa kau tahu jalannya?" tanya Zora, masih mengekori.

Aku menggeleng. "Tidak. Tapi kuharap kita menemukan sesuatu sebagai petunjuk."

"Sepertinya ada rumah di sana. Kau lihat?"

Aku menatap arah yang ditunjuk Zora. Di sana memang ada sebuah pondok kecil yang tampak usang. "Kita coba saja ke sana."

Kami mempercepat langkah menuju pondok itu. Suasananya begitu hening ketika kami sampai di sana. Kuketuk pintu perlahan, namun kami terkejut saat pintunya ambruk hanya dengan beberapa ketukan saja.

Sekumpulan rayap bertebaran di tanah saat sarang mereka terusik. Aku hanya bergidik melihat ratusan kawanan itu.

"Sepertinya tempat ini sudah lama tak berpenghuni," gumamku, mengedarkan pandangan saat masuk ke dalam.

Sebagian besar atapnya ternyata sudah ambruk, menampakkan langit luar dengan hembusan angin yang dingin melalui celah besar itu. Lantai di dalam juga basah akibat bekas hujan semalam.

"Rein! Rein!"

Aku segera mendatangi Zora yang tengah memanggil. Ia sudah berada di sebuah bilik yang sepertinya sebuah kamar.

"Lihat!" tunjuk Zora pada tempat tidur yang lapuk.

"Astaga." Aku ternganga saat melihat seonggok tubuh yang telah kering dan menyisakan tulangnya. "Sepertinya dia pemilik tempat ini."

"Ya," sahutnya setuju. "Berhubung tempat ini ada di tengah hutan, jadi tak ada yang tahu kalau ada orang yang tinggal di sini."

"Sepertinya...kita harus mencari tempat lain. Rumah ini sudah tak layak huni dan rapuh. Aku tak yakin atapnya takan ambruk jika kena hujan nanti."

"Baiklah. Tapi sebentar." Zora membuka lemari yang lapuk dan pintunya langsung ambruk begitu dibuka. "Ah, rayap di mana-mana. Aku benci tempat ini," gerutunya.

"Sedang apa kau?"

"Mencari sesuatu," jawabnya. Ia menarik sesuatu dan menimangnya sebentar, lalu menarik kain lagi. "Mungkin ini akan berguna nanti."

"Ya, kita harus cepat sebelum hujan turun."

Kami kembali menyusuri hutan dan langit semakin gelap. Suara gesekan ranting bergemuruh ketika angin bertiup lencang. Tak lama, rintik hujan mulai mengguyur. Aku dan Zora berlarian tak tentu arah.

Kulihat sebuah goa di bawah tebing. Kami berlari ke arah sana tanpa pikir panjang dan tak lama, hujan turun sangat lebat. Zora sudah menarik jerami yang belum terlalu basah, sementara aku memunguti ranting-ranting yang berguguran karena angin.

ReinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang