Tryenthee Runtuh

136 45 22
                                    

Kami kembali melanjutkan invasi. Pasukanku fokus menyerang wilayah kota Truinne dan sebagian melakukan invasi besar-besaran di luar ibukota. Berkat bantuan tambahan dari tuan Dary, rencanaku berjalan lancar.

Seharusnya ini tak sulit. Setelah mendapatkan istana, aku akan merebut pemerintahan Tryenthee lalu menguasai semua wilayah dengan mudah. Memaksa mereka untuk tunduk padaku sebagai penguasa baru dan mengeksekusi seluruh keluarga kerajaan tanpa sisa.

Meskipun aku sudah mendapatkan sebagian wilayah ibukota, tapi ternyata jarak istana begitu jauh, membutuhkan waktu sehari semalam. Kota Truinne ternyata begitu luas. Hari mulai malam dan perjalananku masih lumayan jauh.

Dari kejauhan, mataku seperti melihat siluet pasukan yang berdiri menghadang pasukanku. Jumlahnya terlihat sangat banyak. Ini di luar prediksiku.

Seharusnya pasukan Tryeenthee takan bisa menghalauku karena kondisi fisik mereka yang sudah cacat. Tapi kulihat mereka seperti hendak menembakkan meriam ke arahku, namun masih tertahan.

"Yang mulia, di depan adalah pasukan bantuan dari Brixia," ujar salah satu pemimpin pasukan yang berada di sebelahku.

"Brixia?" gumamku, tak menyangka. "Hindari gencatan senjata dengan pasukan Brixia sebisa mungkin!"

"Baik!"

Aku terdiam sejenak sambil berpikir. Apa perlu aku menggunakan cara yang sama untuk menaklukan pasukan Brixia?

Aku tidak terlalu mengenal pemimpin pasukan dari Brixia dan aku juga tak tahu bagaimana karakternya. Apa orang itu bisa dibujuk secara baik-baik?

"Serang!"

Mataku melebar saat mendengar deklarasi itu dari kejauhan. Pasukan mereka memutuskan untuk melawanku, padahal aku ingin berbicara terlebih dahulu dan mengajaknya negosiasi.

"Apa boleh buat!" gerutuku sambil memacu kudaku semakin cepat. "Serang!"

Suara ledakan menggema saat mereka menembakkan meriam. Malam yang gelap berubah terang akibat api yang membumbung tinggi. Bukan hanya itu, puluhan anak panah menghujani pasukanku hingga banyak yang gugur dalam pertempuran kali ini.

Aku berusaha menghindar sambil melindungi diri. Pasukanku yang lolos kini bertumbukan dengan pasukan Brixia yang berdiri seperti benteng kokoh. Kupicingkan mata untuk mencari sosok yang menjadi pemimpin mereka.

Aroma darah kembali menguar saat desingan pedang menggema. Suara khas peperangan memenuhi pendengaranku di bawah langit petang. Rintik salju semakin deras, mengganggu pandanganku dan sedikit menyulitkanku.

Aku terdiam sejenak dari aktivitas berdarahku. Kulihat seorang gadis dengan gesitnya menebas pasukanku menggunakan dua pedang sekaligus di tangannya.

"Ini dia!" desisku, saat tak sengaja melihat lencana yang terpasang di jubahnya.

Aku mendekati gadis yang sibuk itu dan langsung menepis serangannya pada salah satu pasukanku yang ia incar. Jika dilihat, sepertinya ia seumuran Luna.

"Jadi kau pemimpin mereka?" tanyaku dingin.

"Ah, jadi kau pangeran iblis yang sedang menggila itu?" sahutnya, setelah melirik ke arah lencanaku.

"Musuhku adalah Tryenthee, Brixia tak ada sangkut pautnya dengan rencanaku."

"Musuh Tryenthee adalah musuh Brixia selama hubungan diplomatik kami berjalan dengan baik."

"Tapi Brixia juga rekan baik Vainea."

"Tryenthee adalah kerajaan besar, tentu saja Brixia lebih memihak padanya."

ReinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang