Wilayah Baru Vainea

151 42 20
                                    

Aku menatap singgasana Tryenthee dengan takjub. Walau kesadaranku kembali mengingatkan statusku masih seorang pangeran, tapi aku ingin menduduki tahta itu sebagai penguasa yang baru.

Perlahan, aku mendekati kursi kebesaran itu sejenak, lalu duduk di sana. Ya ini dia, kursi penguasa yang mengendalikan semuanya.

"Jadi seperti ini rasanya duduk di singgasana?" gumamku sambil menyangga dagu. "Tidak buruk."

"Yang mulia, ratu Zora berhasil melarikan diri ke wilayah Keylion," ujar salah satu pasukanku.

Aku terdiam sejenak sembari berpikir. Jika ia sudah berhasil memasuki wilayah Keylion, berarti aku harus menghentikan pengejaran terhadapnya dan mecari cara lain. Aku tetap harus waspada dengan wanita itu. Dia sangat berbahaya.

"Abaikan dia untuk sementara. Sekarang yang perlu kita lakukan adalah menangkap seluruh keluarga kerajaan yang tersisa, hidup atau mati."

"Baik."

Setelah berhasil mendapatkan istana dan mendeklarasikan kemenanganku di hadapan semua orang, aku kembali melakukan invasi ke seluruh wilayah dan membereskan orang-orang yang berpotensi untuk memberontak.

Berita runtuhnya Tryenthee menyebar secara luas. Semua mata dunia kini tertuju padaku. Sebagian kagum atas keberhasilanku, tapi sebagian juga mengecam tindakanku atas hilangnya jutaan nyawa di bawah kakiku.

Seperti biasa, aku tak peduli dengan pendapat mereka. Telingaku tertutup rapat walau terdapat makian penuh serapah menggema di luar sana.

Semua atribut Tryenthee dihancurkan dan bendera Vainea berkibat di seluruh penjuru ibukota. Dari sini, aku mulai membangun kehidupanku sebagai penguasa baru. Istana Tryenthee kini menjadi istana keduaku setelah ku-ubah tata ruang dan fungsinya.

"Pangeran sialan!" maki Eleanor setelah beberapa hari perang usai. "Gara-gara kau, nama baikku sebagai pemimpin pasukan telah tercemar."

"Lalu?" sahutku acuh tak acuh.

"Pihak Brixia mencabut posisiku dan menarik lencanaku! Aku bahkan dilarang untuk kembali ke sana!"

"Oh, baguslah!" Aku manggut-manggut sejenak, merasa puas. Dari awal aku memang mengincar gadis ini.

"Kau harus bertanggung jawab, sialan!" makinya semakin emosi. "Aku belum kalah darimu!"

"Apa pun yang kau lakukan saat ini takan mengubah keadaan kalau Tryenthee telah runtuh. Tanah ini sekarang milik Vainea."

"Kemenanganmu membuat citra Brixia memburuk di mata dunia. Mereka menyalahkan Brixia dan Benriaco atas runtuhnya Tryenthee."

"Kau pikir aku peduli?" sahutku masih acuh tak acuh.

"Sialan kau!" Eleanor mencengkeram kerahku dengan penuh amarah. "Kalau tahu akan begini, sebaiknya kau membunuhku saja. Setidaknya mati di medan perang lebih terhormat daripada dituduh membelot!"

"Jadi apa sebenarnya maumu?" tanyaku menyeringai atas emosinya yang meluap.

"Bunuh aku sekarang juga!"

"Tanganku sudah terlalu kotor. Membunuhmu akan menambah tanganku ternoda." Aku melepas cengkeramannya dari kerahku. "Daripada kau merengek meminta untuk mati, bukankah lebih baik kau bergabung denganku? Aku sudah memikirkan posisi yang bagus untukmu di pemerintahanku nanti."

"Kau pikir aku akan menerimanya begitu saja?!"

"Yah, itu terserah padamu. Aku menawarkanmu hidup enak di wilayahku sebagai salah satu adipati yang nantinya akan memimpin puluhan Batalyon. Tapi jika kau memilih untuk hidup luntang-lantung di perbatasan Brixia juga tak ada pengaruhnya bagiku. Aku bisa merekrut orang lain yang lebih handal tentunya."

ReinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang