Pada umumnya, masa duka hanya berlangsung satu sampai dua minggu. Tapi hingga satu bulan, masa dukaku belum juga usai. Tak jarang aku mendengar gunjingan bahwa raja Vainea berubah menjadi pendiam dan mulai gila.
Berkat telingaku yang peka akibat kekuatan baruku, aku juga bisa mendengar gunjingan para pelayan mengenai diriku.
Yang mulia raja sudah menjadi mayat hidup karena terlalu bersedih. Tubuhnya kurus dan pucat. Yang mulia raja sedang dihukum akibat skandal yang membuatnya melanggar ritual. Yang mulia raja mulai gila dan terus meminta pelayan untuk menyiapkan keperluan mendiang ratu yang telah tiada. Para pelayan diharuskan tetap menyediakan makan malam untuk yang mulia ratu walau pun tahu, makanan itu takan ada yang menyentuhnya.
Sungguh kasihan raja kami. Kekayaan dan kekuasaan seolah tak ada artinya tanpa ada yang mulia ratu di sisinya.
Ya, gunjingan-gunjingan itu memenuhi kepalaku, tapi aku enggan untuk merespon. Bagiku, mereka boleh berpendapat asal tak bersikap lancang di hadapanku.
Aku berdiri di makam Luna untuk kesekian kalinya, membawa setangkai Mawar Putih dan juga kotak perhiasan.
"Luna, aku membawakan bunga kesukaanmu. Lihat! Merekah sempurna seperti dirimu yang tak pernah layu." Senyum getir tersungging di bibirku sambil membuka kotak yang berisi gelang Giok yang elok. "Lihat, aku menemukan gelang yang unik. Kau menyukainya?"
Aku masih tersenyum, menunggu jawaban. Walau aku tahu ia takan pernah menjawabku.
"Aku...akan meletakkannya di kamarmu. Jangan lupa untuk memakainya di makan malam nanti."
Aku meninggalkan gundukkan tanah itu dengan hampa. Walau aku tahu ia telah tiada, tapi hatiku masih menolaknya. Para pelayan yang melihatku memasuki kamar Ratu hanya menunduk, sementara aku mengabaikan tatapan sedih mereka.
Ruangan megah yang kosong menambah kehampaan hatiku yang tengah sekarat. Bayang-bayang dirinya masih menari di pelupuk mataku. Aku duduk di ranjangnya yang dingin, meraba setiap inci permukaan datar di sana, berharap masih ada jejak-jejak dirinya yang tertinggal.
"Tak boleh ada seorang pun yang mengambil barang-barang yang mulia ratu," ujarku pada penjaga kamar Ratu. "Satu permata hilang, satu kepala melayang."
Kini aku duduk di sofa kamarku, ditemani sebotol anggur yang menambah jiwaku semakin sekarat. Perasaanku masih dipenuhi kesedihan dan aku berharap, hati ini akan mati agar aku juga mati rasa. Tapi sayangnya, hukuman itu melarangku untuk mati agar aku terus menderita oleh nestapaku.
"Katanya cinta dan benci perbedaannya sangat tipis. Tapi Luna, kupikir...itu hanya omong kosong belaka," racauku sambil meneguk minumanku. "Aku tahu betul perasaan itu. Cinta ya cinta, benci ya benci. Itu adalah perasaan yang bertolak belakang dan sangat jauh maknanya. Cih! Beda tipis apanya? Bisa-bisanya ada orang yang membuat bualan seperti itu dan mengatakannya padamu!"
Aku meneguk minumanku lagi dengan depresi yang mengelayut. "Cinta dan benci itu seperti minyak dan air. Itu adalah dua hal yang tak bisa dilebur menjadi satu. Jika ada orang yang jatuh cinta pada sosok yang dibenci, sudah pasti salah satunya adalah perasaan yang palsu, entah itu cintanya atau kebenciannya."
Aku menenggak minuman sekali lagi. "Luna. Tidak bisakah kau menemaniku untuk malam ini saja?" lirihku sendu. "Aku...rindu."
Kuraih sebuah belati sambil menatap sebuah peta yang terpampang di meja. Dengan kuat, aku menancapkannya di peta wilayah Keylion sambil menyeringai.
"Keylion, kini giliranmu."
* * *
"Yang mulia, kita mendapat surat deklarasi perang dari Keylion. Mereka akan menyerang dua hari ke depan." Eleanor memberi laporan. "Apa anda akan membiarkan perang terjadi lagi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Rein
FantasyIni adalah buku ke 3 dari seri Assassin, sangat disarankan untuk membaca 2 buku sebelumnya untuk mengurangi kesalahpahaman alur.. Kegelapan malam telah menyisakan sebuah penyesalan untuk memejamkan matanya. Rein, mencoba menyelidiki kasus kematian o...