1🍁 Perdebatan membawa Kekecewaan

1.8K 61 0
                                    

"Lula, kamu harus mengikuti kemauan kami, jangan menolak lagi atau nggak kamu akan diusir dari keluarga Pramatya" ujar seorang laki laki paruh baya dengan suara yang tidak bisa dibilang lembut

Rahang laki laki dewasa itu mengeras melihat gadis yang ada di hadapannya, keinginannya dibantah mentah mentah oleh gadis itu, padahal selama ini tidak ada bantahan yang  berani keluar dari mulut gadis itu. Apa ini bentuk pemberontakan padanya?

"Pa, please jangan" mohon gadis itu lirih, siapa pun yang mendengarkannya dipastikan merasa kasihan dengannya

"Keputusan sudah bulat Syalula Amarta Pramatya" ujar papanya tegas

Gadis itu sudah tidak berani lagi berkutat, ia kalah dalam permainan ini. Jadi ia menerima kekalahannya, menerima apa yang diperintahkan oleh papanya adalah keputusan akhir dari perdebatan ini. Membantah pun tidak akan bisa karena hal itu hanyalah sia sia belaka.

Inilah hidup gadis itu, dipaksa tanpa belas kasihan, dikecam tanpa perlawanan. Ia adalah anak bungsu dari tiga bersaudara, namanya Syalula Amarta Pramatya. Gadis berumur 17 tahun yang dipaksa menikah dengan seseorang, yang bahkan belum ia kenal sama sekali, jangankan mengenakannya, namanya saja ia tidak tau atau lebih tepatnya bodo amat.

Lula sudah mencoba memberontak bahkan menentangnya namun hal itu tidak berguna. Tidak ada yang membelanya di keluarga ini, bahkan mereka sangat senang melihat penderitaan gadis itu. Apa ini yang namanya keluarga?, Jika ia maka ia tidak berharap adanya keluarga di hidupnya.

"Turuti kemauan papa atau kamu akan menyesal seumur hidupmu" ancam Alberto Aquilani Pramatya yang merupakan papa dari gadis itu

"Ma, bantu aku" mohon gadis itu menoleh pada wanita patu baya yang duduk tak jauh dari tempat ia bersimpuh

"Kamu tau kan, percuma minta tolong sama mama" tanya Amelia Putri Earhart itu tanpa ada rasa iba pada gadis yang memohon itu, apa ada seorang ibu yang seperti dia? Bila ada maka jangan pernah sekali kali panggil ia ibu.

"Apa aku anak kalian"tanya gadis itu dengan air mata setengah mengering

"Bukan, karena kami tidak pernah memiliki seorang anak yang berani membantah perintah orang tuanya" ujar Alberto tegas

"Sekali pun menghancurkan masa depannya" tanya Lula

"Ini bukan menghancurkan masa depan tapi menyiapkan masa depan" sinis mamanya

"Berhenti mencari pembelaan, ikuti aja kemauan papa jika Lo tak ingin menyesal" ujar seorang laki laki yang umurnya sekitar 3 tahun di atasnya, dia merupakan anak pertama dari Alberto dan Amelia, Elvano Lucio Pramatya. Laki keras kepala, dingin, membenci perdebatan dan egois.

"Bukan gitu kak tapi aku nggak mau, coba kakak yang ada di posisi aku, apa kakak menerimanya atau malah memberontak seperti aku" tanya Lula menantang El

"Gue akan menerimanya karena gue nggak pembangkang seperti lo" jawabnya ketus sambil menatap tajam gadis itu

"Berhenti egois untuk kali ini aja, Lo nggak akan rugi menerima perjodohan itu, malah Lo mendapatkan keuntungan besar. Mereka kaya asal Lo tau, dan apa pun keinginan Lo bukan hal susah untuk mereka" ujar laki laki yang wajahnya sangat mirip dengan El, dia adalah anak kedua atau lebih tepatnya kembarannnya El, Revano Lucio Pramatya. Laki laki yang mampu bersikap tenang di antara ketiganya, yang bisa menyelesaikan dengan kepala dingin bukan malah memaki atau ngotot untuk diikuti, ia punya caranya untuk bisa diterima.

"Fine, aku nyerah dan aku kalah" putus gadis itu dengan menghembuskan nafasnya

"Kalau pendapat aku nggak dibutuhkan untuk apa papa memberitahuku, kenapa nggak pas nikahan aja dikasih tau, biar surprise" ejek gadis itu dengan senyum rapuhnya

Pengorbanannya untuk kali ini memang lebih besar, karena masa depannya. Sejak dulu ia berkorban dari hal kecil, seperti terluka, di siksa sama musuh papanya, bahkan hampir saja menjadi korban pembunuhan, terlalu tragis bukan?.

Ia hidup memang berrgelimang harta, namun kebahagiaan bertolak belakang dengan itu. Lula menganggap hal yang ia korbankan itu akan mengubah pandangan keluarga terhadapnya, tetapi ia salah bahkan itu bukan apa apa bagi mereka.

"Tapi aku bersyukur sih pa, kalaupun keputusannya sudah mutlak setidaknya aku nggak akan gugup" kekeh gadis itu dengan senyum palsunya

Ucapan Lula itu bukan hal apa apa bagi papanya, karena keputusannya ialah mutlak tidak bisa diganggu guhat. Pantang baginya menarik kembali ucapannya, sekalipun itu tentang kematian seseorang.

"Kalau boleh aku tau, nikahnya kapan pa" tanya Lula mencoba santai sesantai mungkin, padahal di dalam hati ia sudah mati Matian menahan air matanya keluar

"Besok"

Deg

"Menakjubkan" balas gadis itu kemudian berniat beranjak dari lesehannya. Semua mata melihat gerakan gadis itu, tak ada yang me cegah apa yang gadis itu lakukan, sekalipun papanya.

"Ya udah aku mau tidur dulu ya, besok adalah hari yang pastinya panjang untuk aku lewati dan hari BAHAGIA untuk semuanya" ucap gadis itu di perjalannya menuju kamarnya yang tidak jauh dari ruang keluarga itu.

"Oh iya pa, ma, kak ada yang lupa" gadis itu menghentikan langkah kakinya dan berbalik

"Happy anniversary buat papa dan mama, and happy birthday buat kakak twins dan makasih atas kado ulang tahun aku, kabar yang papa dan mama berikan di hari ini begitu membekas dan berkelas, berbeda dari yang lain" kemudian gadis itu kembali melanjutkan langkahnya yang tertunda.

Sedangkan keluarganya hanya terdiam, mereka memang salah. Namun mereka punya alasan tertentu atas semua ini, dan tidak bisa dijelaskan untuk sekarang. Mereka pun jugaikut sedih dan iba dengan Lula, tapi mereka bisa apa.

"Maaf sayang" gumam Amelia yang mampu di dengar oleh semua orang

"Mama nggak salah, kita juga nggak tau kalau begini akhirnya" ujar Revano menenangkan mamanya dengan mengusap punggung wanita itu.

Sedangkan Alberto sejak tadi menahan amarahnya, ia gagal menjadi ayah untuk putri satu satunya. Di luar sana seorang ayah adalah laki laki pertama yang akan melindungi anak perempuannya, namun sebaliknya ia menjadi laki laki pertama yang menyakiti hati anak perempuannya.

Berbeda dengan El, laki laki itu langsung pergi dari sana. Berdiri di sini akan membuat emosinya menjadi jadi, ingin rasanya ia membunuh dalang dibalik semua kekacauan ini, namun itu tidak akan mungkin terjadi.

"Mama jahat sama Lula, dia pasti sedih dan mama nggak bisa bantu" ujar wanita paruh baya itu pelan di dalam pelukan Revan sang anak

"Ma udah, ini keputusan yang benar" balas Revan menenagkan sang mama

"Tapi Lula kecewa sama kita, mama nggak sanggup" mama mana yang sanggup mengorbankan masa depan seorang anak perempuan satu satunya, dia tidak sekejam itu namun ia harus berlaku kejam untuk melindungi gadisnya.

"Yakinlah ma, suatu saat nanti adik akan mengerti kenapa kita melakukan ini, kita semua bukan egois, ini juga demi adik"

"Mama hanya bisa memohon semoga semuanya cepat berakhir, tanpa melukai kita. Mama ikhlas kok kalau mama yang menjadi korbannya selagi jangan adik kamu, mama kasihan lihat dia sejak kecil sudah menerima cobaan tanpa ada yang mengerti dirinya" tutur Amelia dengan air mata yang tak berhenti mengalir luas

Di dalam kamarnya, Lula masih menangis sejak ia masuk ke kamar tadi. Sampai sampai tenggorokannya sudah mengering, ia membutuhkan air untuk melicinkan tenggorokannya.

Saat buka pintu kamar, ia sudah tak mendapati mereka yang tadinya duduk di sana, apa ia sendirian lagi. Sudahlah besok ia akan menikah, dan keluarganya tidak ada satu pun yang menemaninya, menyedihkan sekali menjadi dirinya.

Kaki kecil yang berusaha untuk kokoh itu menyusuri tangga ke lantai satu, karena dapur memang di lantai bawah. Lula berjalan ke bar kecil yang ada di sana, seetelah mengambil air dingin di kulkas.

"Kapan semuanya selesai" gumamnya di sela sela minumnya

"Sudahlah, takdir terlalu baik untuk gue yang kecil ini"

"Jangan menangis please" mohonnya pada dirinya sendiri, karena hampir saja Lula tidak bisa menahan bendungan air matanya.

Hasse es zu LiebenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang