41. Childhood Friend

5 2 0
                                    

Kata orang,  mencintai itu seperti menggenggam pasir di tangan,  semakin erat kamu menggenggamnya, semakin kamu kehilangannya. Seperti itu aku yang masih menggenggam harapanku tentangmu, aku masih menggenggam dengan sekuat tenagaku. 

Kupikir,  waktu sudah memperbaiki segala hal yang dulu pernah aku hancurkan.  Meskipun jauh di lubuk hati terdalam aku terus bertanya,  apakah aku sendiri yang mematahkan semuanya, atau kita bersama-sama berjanji untuk menghancurkannya. 

Aku tidak ingin menyalahkan siapapun, tidak ingin melibatkan orang yang ingin pergi dari dunia ku.  Tapi aku terus mengingat sesuatu,  yang membuat hatiku masih membeku,  menyalahkan diriku sendiri. 

Kepergianmu yang tiba-tiba selalu meninggalkan pahit yang harus kutelan setiap detiknya,  kepergianmu adalah ingatan paling menyakitkan yang kamu tinggalkan untuk kudekap sendirian. 

Aku tak berharap ini berakhir, aku berusaha sekuat yang kubisa untuk mempertahankan milikku.  Duniaku.  Tapi, aku hampir kalah. 

"Bintang, are you okay?" tanya seseorang dari balik pintu.

Aku menoleh,  ternyata itu Leo.

"yeah," sahutku seadanya. 

Leo memberikan secangkir matcha hangat,  ia juga memberikan sebuah kamera pocket berwarna hitam padaku. 

"katanya tadi mau motret pemandangan,  tapi kameranya malah ditinggal" Leo membuka obrolan untuk pertama kali. 

Aku tersenyum tipis,  "maaf ya,  jadi ngerepotin" kataku sembari menerima kamera itu cepat. 

Leo mengangguk kecil,  "it's okay"

Aku sempat terdiam sejenak sebelum akhirnya berbicara,  "Leo, lo sejak kapan sadar kalau Angga itu adalah Nichol?" tanyaku kemudian. 

"sejak pertama kali ketemu" sahutnya enteng.  "lo?" tanyanya kembali. 

Aku menggeleng, "mungkin sedikit terlambat dari lo, gue baru tahu tadi" kataku dengan nada sedikit kesal. 

Kembali suasana hening sejenak,  aku diam memandangi pemandangan kota london yang indah itu,  di sana terselip nama yang tak pernah kulupakan. 

"gue bener-bener bodoh banget sampai gak sadar kalau selama ini dia Angga..." kataku dengan helaan napas berat.

Leo tersenyum kecil, "tapi lo sadar gak kalau Angga sudah tahu itu lo sejak awal,  bahkan setelah 13 tahun berlalu.."katanya membuka suara. 

Aku menoleh,  "sejak 13 tahun yang lalu?" kataku mengulangi kalimat Leo. 

Leo mengangguk kecil, "iya" balasnya yakin. 

Sementara aku memutar ingatanku kembali,  Leo tetap melanjutkan ceritanya.

"Bintang,  kalau diingat-ingat lagi,  lo emang cewek paling berani yang pernah gue temuin,  apalagi dulu waktu lo mukulin gue di hari terakhir lo sekolah. Itu benar-benar kenangan yang buruk buat gue" Katanya sedikit tertawa mengingatnya. 

Aku tersenyum tipis, "sorry" kataku pelan. 

"it's okay... cuman mungkin selama ini lo gak tahu gimana Angga sejak hari itu" katanya kembali. 

"d-dia kenapa?" tanyaku sedikit kelu.

"dia kehilangan temannya, teman satu-satunya yang melindunginya." Leo kembali berbicara. 

"Lo satu-satunya yang mau menjadi temannya saat yang lain menjauhinya.  Semua anak gak mau berteman dengan anak yang tidak bisa bergaul seperti dia,  tidak kecuali lo dan gue." katanya melanjutkan.

He's STARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang