28. Belenggunya teka-teki

89 6 4
                                    

"Mencintaimu adalah suatu hal di luar kendaliku. Saat aku melabuhkan hati padamu, aku tak pernah berpikir untuk sebuah perpisahan. Bahkan kata itupun, nyaris tak pernah ada di dalam kamus kepalaku. Untukmu aku bisa tertawa dan menangis. Untukmu aku bisa menjadi seseorang yang menghargai perasaan orang lain. Bahkan aku tak peduli bahwa itu akan menyakiti diriku suatu hari nanti. Biarlah segala kemungkinan-kemungkinan itu tercetak dalam kurun waktu tertentu. Langkah kita takkan pernah diam, suatu hari kita akan melaluinya. Tak peduli kaki kiri atau kanan keduanya akan merasakan apa isi dari kemungkinan itu. duri atau kapas, kita akan tahu nanti, jadi pakailah sepatu terbaikmu".

Gladi bersih - perpisahan kelas XII.

Suasana sekolah sangat ramai. Setiap orang yang hadir sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Latihan paduan suara, drama musikal, band sekolah, dan berbagai macam kegiatan lain untuk dilaksanakan pada hari-H nanti.

"untuk anak-anak paduan suara, segera menuju aula." Suara cempreng Diana menggema di pengeras suara. "apaan sih Din, udah tahu suara lo merdu gitu. Kurangin napa volumenya." Aku protes padanya karena pasti di luar sana semua orang sedang menghujatnya habis-habisan.

"biarin. Bodo amat yang penting semua ngumpul." Dengan watak keras kepalanya itu ia memang cocok untuk dijadikan leader. Khususnya dalam sebuah kegiatan berkelompok. "okeh.. langsung ke aula ya." aku mengikuti langkah kakinya, mencoba menyeimbangi.

"kok rame?" mataku melotot saat melihat banyak anak-anak kelas XII berada di dalam aula. "lha.. paduan suara sekalian pengalungan. Lupa lo?" Diana menarik tanganku agar tak khayal dalam kerumunan orang yang memadati aula. "bukan lupa. Gue malah gak tahu." sahutku datar. "lo sih seminggu hilang. makanya ketinggalan info kan?" Diana menyelutuk jujur. "hehe.." aku terkekeh kecil. "sialan lu Din,  efek aja terus daritadi."

***

Sepanjang latihan tadi rasanya aku senang sekali, melihat seseorang yang kurindukan dan melihatnya begitu bahagia saat berbicara dengan teman-temannya. Aku tidak cemburu lagi saat ia dekat dengan kak Fiona, kak Nadia atau siapapun, bukan karena aku tak menyukainya, tapi karena aku mempercayainya. Lebih tepatnya belajar mempercayainya. 

Senyum yang terukir dari sudut bibirnya itu membuat siapapun secara otomatis juga ingin mengukir senyum. Aku lupa sejak kapan aku melihatnya menjadi seperti ini? Rasanya waktu singkat yang terjadi mengubah sesuatu dengan sendirinya. Termasuk dinginnya karakter yang pernah Nichol tonjolkan dulu. Dulu saat pertama kali aku mengenalnya. 

Aku melangkah keluar aula bersama teman-teman yang lain. "good job, semuanya!" Diana melambai-lambai kearah anak-anak paduan suara yang lain. Dengan tergesa-gesa ia juga menyeimbangkan langkah agar beriringan denganku. "Bintang!" teriaknya nyaring.

"ya?" aku menoleh kebelakang, kulihat ia meraih tanganku gesit. Sebelum ia mengeluarkan sepatah kata aku lebih dulu bicara, "hati-hati!"
Ujarku tersadar alasannya teriakan itu. 

Senyumnya mengembang luas, bagaimana tidak alasannya memegang tasku adalah karena ia sedikit terpeleset akibat lantai yang licin. "hehe.. tahu aja lo!" kekehnya.

Setelah langkahnya kembali normal ia memulai percakapan denganku, "Bintang lo tahu gak?" tanya sebelum memasuki topik pembicaraan. "apaan?"

"Kak Nichol daritadi ngelihat kearah anak paduan suara terus loh. Gue jadi salting!" ujarnya excited. "terus?" aku menahan senyumku. "tapi sayang dia sukanya sama lo." wajah Diana berubah, ia memanyunkan bibirnya. "ngomong apaan sih lo." balasku pura-pura tak peduli. Diana mendorong lenganku dengan kepalan tangannya, tidak keras tapi cukup membuatku mengaduh. "adawwww!"

"semua orang juga udah tahu kalau lo sama kak Nichol tuh dekat. Lo suka dia, dia suka lo. selesai. Happy ending." Ujarnya dengan gelagat pendongeng gagal.

He's STARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang