30. Saat untuk berpisah (2)

46 4 0
                                    

"jadi apa maksud lo tadi gak bisa?" aku kembali bertanya saat kulihat Nichol lebih rileks sekarang. "kamu tadi kenapa langsung pulang?" tanyanya mengalihkan topik pembicaraan. Kebiasaan.

"ya gak apa-apa." Sahutku singkat.

Nichol mengangguk-anggukan kepalanya pelan. "baguslah kalau gak apa-apa." ia tersenyum samar dan kembali mengarahkan pandangan kedepan.

"jadi motif kedatangan lo apa?" tanyaku mengacuhkan kalimatnya yang terkesan hanya basa-basi. "gue mau istirahat soalnya capek banget." Ujarku berbohong, padahal nyatanya aku sedang malas bertemu dia.

Hening sejenak, hanya terdengar suara detak-detak kecil jam dinding dan helaan napas berat darinya, cukup lama sebelum akhirnya ia kembali berbicara. "kamu sudah baca surat senter itu?" tanyanya kemudian.

Aku menggeleng, "belum."

Nichol kembali mengangguk, kali ini dengan wajah yang berubah lebih serius. "oh baguslah." Ujarnya dengan nada suara yang ganjil. "tapi gue pasti baca kok. jadi lo gak usah khawa-"

"kita sudahi saja, ya." ujarnya kembali bicara, memotong kalimat yang belum selesai ku ucapkan. "Maaf, saya tahu mungkin ini mengagetkan kamu tapi-"

"gak usah minta maaf. Gue ngerti." Potongku cepat. aku tak berniat membalas perbuatannya, hanya saja aku tahu aku harus melakukan ini. "lagian semua sudah berakhir kan?" aku tersenyum tipis, menahan getir air mataku yang entah sejak kapan mengembun di sana. bodoh, jangan menangis. Apapun yang terjadi jangan menangis. Batinku bergejolak.

Andai aku lebih jujur dan berani mengutarakan perasaan ini mungkin aku akan tahu alasan mengapa ia mengucapkan 'kalimat' itu. tapi kenyataannya aku hanya merelakan kata itu keluar, mengikhlaskan tanpa tahu bagaimana keadaan hatiku yang sebenar-benarnya.

Tak ada balasan dari Nichol, hanya helaan napas berat yang terdengar berkali-kali. "kamu tidak apa-apa?" tanyanya penuh dengan penekanan, lebih pada terkesan khawatir.

"gue gak apa-apa. gue akan selalu baik-baik aja. Gak usah khawatir." Sahutku berusaha bersikap biasa saja. kenapa Nic, kenapa? Batinku bertanya, begitu kontras dengan apa yang aku katakan barusan. aku mendadak bisu akan kejujuran, bisu akan keadaan yang sesungguhnya.

"saya akan berangkat ke London besok pagi." Ia akhirnya jujur dengan apa yang sedang terjadi. Membuka alasan, jika ia akan pergi melanjutkan kuliahnya di sana. sudah kuduga, bahwa rumor akan kepindahannya ke London untuk melanjutkan studi nya itu benar.

"oh iya, selamat ya. hati-hati di sana." aku tersenyum lebih lebar, mencoba bersikap biasa saja. bersikap wajar dan berbahagia seadanya pula.

"Iya." balasnya singkat kemudian disusul dengan kesenyapan yang kembali hadir di antara kami.

"hahaha... jadi lo sudah fix ya kuliah di sana. se..semangat ya." ujarku menepuk-nepuk bahunya lembut. kesenyapan itu buyar saat aku memutuskan untuk membuka suara kembali.

"kamu juga hati-hati. Semangat belajarnya." Tanpa permisi bisa kurasakan jemari tangannya balas menyentuh rambutku dengan lembut. Mungkin adalah yang terakhir, sentuhan lembut itu mungkin akan menjadi yang terakhir. "sampai jumpa lagi." ujarnya tepat menatap di mataku yang sudah berkaca-kaca.

"hati-hati." Balasku pelan.

Dengan dada yang sesak aku melepaskan kepergian Nichol malam ini, tak banyak kata yang bisa aku bagi lagi padanya. sesak sekali, sulitnya membaca bagaimana aku bisa mampu berbohong sepanjang saat aku bersamanya tadi. andai ia tahu satu hal, andai saja ia tahu itu. bahwa 'tak ada perempuan yang akan baik-baik saja saat orang yang ia sayangi pergi dari hidupnya.'

He's STARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang