23. Have to go

77 7 0
                                    

"Masih ingat?  Aku dan kamu berjanji untuk tak saling pergi.  Nyatanya,  aku, kamu,  tak ada yang menepatinya."

Kabar mengejutkan datang dari kalimantan,  Ayah membalas suratku. 
Beliau memintaku untuk datang,  bersama dengan Mamah. 

Aku sangat shock saat membaca surat itu, sangat-sangat shock saat kutemukan di belakang surat itu foto Ayah sedang duduk di kursi roda. 

Beliau sedang sakit.  Itulah yang ada di dalam surat itu,  tapi tak dijelaskan sakit apa.  Hanya saja,  memang tubuhnya sangat-sangat kurus dan Ayah memang sedang tidak sehat.

Yang hingga kini terngiang di kepalaku bahwa Ayah bilang 'Kunjungi Ayah nak. Ayah ingin bertemu.' kata-kata itu,  entah mengapa mengganjal hatiku. 

Dan dengan persiapan yang seadanya,  aku dan Mamah akan berangkat besok.

"kenapa mendadak mah?  Perpisahan kelas tiga lusa.  Dan Bintang... " aku memegang gagang pintu gentar, suara Mamah yang samar-samar dari dalam kamar kembali menyahut. 

"kamu ikut tidak?"

Tanganku yang masih menyentuh gagang pintu perlahan melemah.  Terlepas. 

"Bintang.. Ikut."

***

Aku mengikuti mamah yang berdiri menyalami kepala sekolah,  sesekali ia mengucapkan.  "Terimakasih."

Dengan langkah cepat aku melalui kelas demi kelas, berjalan mengekor di belakang Mamah. Beberapa anak memandangiku bingung,  ada yang sesekali menyapa ada juga yang hanya memandang dengan tatapan penuh tanya. 

Aku tak mengenakan seragam, mungkin itulah alasan mengapa mereka menatapku, seolah-olah aku sedang catwalk dan menjadi pusat perhatian.

"Bintang.." Suara ramah itu menyadarkanku yang masih menatap lantai,  enggan untuk mendongak.

"Kamu mau kemana?" lagi-lagi ia bertanya, kali ini ia menyentuh kedua bahuku, memintaku untuk menatapnya sebagai lawan bicara. 

Aku mendongakkan wajah,  sebenarnya aku tahu ia siapa.  Tapi entah mengapa aku enggan untuk berbicara padanya.  "Bintang ijin,  kak."

"kemana?"

"kalimantan.  Ada sesuatu." jawabku singkat.  Malas menguraikan secara detail perihal apa yang terjadi,  alasannya sederhana karena akupun tak tahu detailnya.  Semua terjadi secara tiba-tiba.

"Bintang pamit,  kak." aku tersenyum kecil,  kemudian memeluknya. "Bintang pamit."

"Bintang.. " kak Nadia yang terkejut saat memeluknya hanya bisa membalas pelukanku tanpa bisa berkata-kata.

Tanpa sadar setitik air mata jatuh di pipiku.  Ia terjatuh tanpa kuinginkan.  "Bintang,  kamu gak apa-apa?"

Aku menggeleng,  "gak apa-apa kak.  Bintang pamit.  Dah.." aku berlari menyusul Mamah yang sudah jauh di depan. 

Hatiku sakit sekali.

***

"Kamu ikut tidak?"

"Bintang...ikut."

Aku memilih untuk tetap berdiri di depan pintu, dan saat itu pula tiba-tiba Mamah keluar kamar dengan mata sembab. 

"Kalau Bintang tinggal sama Ayah,  Bintang sekolah di sana,  Bintang mau kan?"

"Maksud Mamah?"

Mamah memelukku erat.  "Bintang tinggal sama Ayah di sana ya, Nak."

Aku melepaskan pelukan Mamah cepat. "Mamah juga ikut kan?"

Mamah mengangguk,  "Mamah akan mengantarkan, Bintang ke sana."

"Maksud Mamah?  Bintang gak ngerti.  Sebenarnya kenapa? Papah kenapa?" tanyaku lagi,  kali ini sedikit memaksa agar Mamah memberikan jawaban yang kuinginkan. 

Tapi Mamah hanya memelukku untuk kedua kalinya,  lebih erat dari yang pertama.  Seolah-olah ini adalah pelukan selamat tinggal.

"Bintang sayang Mamah kan?  Kalau Bintang sayang Mamah,  tolong Bintang temuin Ayah."

Saat itu aku mengerti ada yang tidak beres antara Mamah dan Ayah.  Tiba-tiba saja aku membayangkan sebuah hal yang menyakitkan pernah terjadi dulu, dan aku tak tahu. 

He's STARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang