32. Forget it

49 3 0
                                    

Dengan keadaan seperti ini apa aku masih bisa hidup lebih baik, apa aku bisa mengukir senyumku lagi, apa masih bisa? Ketika kepingan hati itu hilang dan menyisakan sekeping hati saja, apa pantas itu di sebut hati yang utuh? Jelaslah jika itu sudah hancur, berantakan, tak bisa diperbaiki. Karena kau telah menghancurkannya. Memecahnya hingga hancur berkeping-keping. Kau dengan tega menyayatnya. Menyayat hingga rasa sakit itu nyaris membunuh aku secara perlahan-lahan. Apa sesakit ini? Aku tanya, apa harus mencintaimu dengan sesakit ini?

-Bintang-

Minggu pagi, saatnya perawat rumah sakit mengajak pasiennya untuk menghirup udara luar rumah sakit yang sejuk. Sekedar menghirup oksigen yang katanya lebih baik daripada saat siang hari.

Aku yang saat ini menjalani masa pengobatanku-pun juga di temani seorang perawat, kami duduk di kursi taman rumah sakit. Memandangi berbagai macam kegiatan yang di lakukan. Mulai dari terapi, olahraga ringan, atau hanya sekedar berjalan dan bersantai di area taman.

"permisi,"

Pandanganku masih tetap menatap lurus kedepan, mengacuhkan suara yang menyapa itu. "ya, siapa ya?" tanya perawat yang menemaniku. "saya Dion, teman Bintang." Ujarnya kemudian.

Perawat itu mengangguk sembari mempersilahkan Dion untuk menemuiku, membiarkan Dion untuk berbicara padaku, itupun jika aku sedang ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan.

"saya tinggal dulu." ujar perawat itu pamit, sementara aku masih tetap memandang lurus kedepan, mengacuhkan dan tak peduli pada siapa atau ada apa mengapa ia ingin menemuiku.

Dion, laki-laki itu duduk di atas rerumputan tepat di hadapanku, "kalau sampai hari ini lo masih kayak gini, gue yakin bentar lagi lo bakalan mati." Ujarnya berbicara seadanya. Sekenanya lebih tepatnya.

Aku sempat memfokuskan kelopak mataku kearahnya, namun tak lama hanya sekedar mengingat siapa yang ada di hadapanku saat ini.

"jadi lo benar-benar lupa ingatan?" ia kembali membuka pembicaraan, "kalau lo lupa seharusnya lo juga lupa rasa sakit lo, lo lupa siapa yang bikin lo kayak gini, lo harusnya lupa. Tapi kenyataannya lo juga lupa buat bikin diri lo tetap bahagia." Ujarnya penuh dengan perasaan yang berkecamuk.

"gue cukup patah hati saat lo dekat sama orang lain, tapi lebih sakit hati lagi kalau ngelihat lo kayak gini..." ujarnya lirih.

Aku menatapnya bingung, dahiku membentuk kerutan yang cukup tegas, aku tak tahu mengapa--hanya saja aku terganggu dengan kalimat yang baru saja ia lontarkan.

"lo siapa?" tanyaku dingin.

"lo gak perlu tahu gue siapa, lo hanya harus tahu kalau gue bakalan ada di sini. Nemanin lo—" ujarnya penuh dengan keyakinan. Matanya yang sendu itu tak bisa didustakan, meskipun ia berusaha terlihat 'buruk' namun ia bukan seperti itu.

***

Dion menetapi janjinya—ia selalu ada di sisiku. Menemaniku, entah hanya menjenguk sehari sekali atau kadang lebih lama, bahkan ia pernah menginap di rumah sakit hanya untuk menemaniku menonton film horror terbaru.

Aku mulai merasa lebih baik, mulai sering berbicara lagi, mulai bisa tertawa dan tersenyum. Akupun tak mengerti sihir apa yang yang telah di bawa oleh laki-laki ini, namun satu hal yang aku tahu—bahwa ia menepati janjinya.

"kenapa langit kalau hujan ga ada Bintang?" tanya Dion sambil mengaduk-aduk cup coffe di tangannya. "karena bintang takut hujan." Jawabku asal.

"salah. Ngaco." Balasnya mendorong dahiku pelan. aku meringis pelan lalu balas mendorong lengannya. "terus apa?"

He's STARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang