24. Janji yang sia-sia

84 7 0
                                    

Saat Mamah sedang sibuk berbicara dengan wali kelasku,  aku memilih berjalan mencari Annisa dan Sabila,  aku tidak sempat mengabarkan pada mereka. 

Lebih tepatnya tak berani,  kepergianku begitu mendadak, aku takut bila aku tak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan dari mereka perihal alasan kepergianku. 

"Annisa,  Sabila,  please gue mohon." aku memegang erat tali tas yang menggantung di bahuku. 

Aku berusaha melangkah lebih jauh,  namun panggilan Mamah tak bisa ku abaikan.  "Bintang, sini nak.  Pamit dulu."

Dengan beban di dada yang masih mengganjal, aku berusaha untuk berjalan tanpa memasang ekspresi kekhawatiran. Kubuat diriku terlihat seperti biasa.  "Bu,  Bintang pamit. Maaf kalau selama Bintang di sini,  Bintang ada salah sama Ibu.  Dan...  Bintang juga minta tolong, sampaikan salam Bintang untuk teman-teman di kelas. " aku mencium tangan wali kelasku lembut.

Beliau memelukku hangat,  "hati-hati di sana nak,  semoga sukses.  Jangan lupa untuk mampir lagi ke sini." Sekilas seperti biasa saja, namun bagiku ini cukup menyakitkan.

Urusanku belum selesai sepenuhnya,  aku masih pasukan X-2. Aku masih punya kontrak dengan teman-teman untuk berdamai dengan pak Hardian.  Sialan,  sudah berapa bulan perang dingin antara siswa dan guru tak kunjung juga reda.  Entah bagaimana alurnya,  aku akan selalu berdoa semoga pak Hardian tidak dendam pada kami.  Kelas X-2.

"Yaudah bu,  kalau gitu kami pamit." Mamah memeluk wali kelasku hangat,  aku pun ikut memeluk beliau.  Sebagai ucapan selamat tinggal.

Pukul 09. 30 WIB. 

Bandara Soekarno-Hatta cukup ramai, lengkap dengan lalu lalang orang yang sedang sibuk mengurusi urusannya masing-masing. 

Tambah lengkap saat beberapa orang wartawan sedang sibuk men-setting kamera bersama rekannya.  "sebentar lagi tiba." tanyanya melihat jam tangan miliknya.

Aku menatapnya penasaran,  "kira-kira siapa yang mau datang? Girl Generation?  Atau EXO?"

Entah mengapa celutukan itu malah terdengar meledek,  seharusnya aku yang jarang berpergian ini lebih update untuk membaca berita.  Jika Idol korea akan datang tak hanya wartawan yang akan datang, mungkin fans-nya akan menunggu jauh-jauh hari. 

"artis lokal mungkin." itulah yang aku putuskan.

Kami akan berangkat pukul 10.15 WIB,  masih ada waktu empat puluh lima menit untuk mencari sarapan. Sejak pagi tadi kami berdua memang tak sempat makan apa-apa.  Terlalu terburu-buru menuju kesekolahku. 

"kita sarapan dulu ya,  Nak." Mamah memegang bahuku lembut.  Membawaku menuju sebuah mini restoran.

***

"Mohon perhatian... Kepada seluruh penumpang...."

Aku terburu-buru menuju kursi tunggu,  keberangkatan kami sekitar lima belas menit lagi. "gak ada yang ketinggalan kan?" tanya Mamah di sampingku.  "gak ada." aku memegang ponsel di saku jaketku. 

Sebentar lagi aku akan berangkat,  tapi tak satupun sahabatku yang kuberitahu, entah mereka akan membenciku atau apa nantinya,  aku sudah siap menerima konsekuensinya. 

Sebuah pukulan keras mendarat di lenganku, "aw!"

"bisa-bisanya lo pergi gak ngasih tahu gue, ihh mau gue tampol rasanya!" Annisa menggenggam tanganku erat. 

"ka..kalian tahu darimana gue di sini?"

"kak Nadia!" jawab Annisa cepat. "bener-bener lo ya,  Bintang. Mau pergi gak ngasih kabar apapun ke kita. Parah!" Sabila ikut mengeluarkan kekesalannya. 

"maafin gue.  Soalnya ini dadakan. "jawabku pelan.  "tapi.. Kalian gak sekolah? Ini kan masih jam belajar?" tiba-tiba aku tersadar saat memperhatikan seragam yang mereka kenakan. 

"kita ijin,  gue pura-pura sakit." jawab Annisa datar,  "kalau kak Nadia gak buru-buru ngasih tahu gue,  mungkin saat ini lo udah kabur dan gak ngasih kabar ke kita."

Aku memandang wajah kedua sahabatku ini,  ada perasaan haru di dadaku.  "gue minta maaf.  Oh iya,  gue punya sesuatu buat kalian." aku mengeluarkan jam tangan couple.

"Warnanya sama-sama coklat.  Gue pesan online, udah gue kasih singkatan nama kita di dalamnya." ujarku memberikan jam tangan itu pada mereka berdua. 

"gue pamit." aku memeluk mereka berdua,  membiarkan air mataku jatuh. 

Saat itu Mamah menepuk bahuku pelan,  pertanda bahwa aku harus pergi.  "gue berangkat,  kalian baik-baik di sini."

"eh,  bentar Tang!" Sabila Buru-buru membuka tasnya. "Kak Nadia ngasih ini ke gue.  Suruh ngasih ke elo.  Dia bilang ini ada di bawah meja kak Nichol." Sabila mengeluarkan sebuah bungkusan kecil bermotif bunga mawar.

"ternyata Kak Nichol hari ini gak masuk.  Dia berangkat ke london buat ngurus beasiswanya. Well,  gue tahu dari kak Nadia."

Annisa mengangguk kecil,  "iya."

Aku tersenyum kecil,  "makasih."

Langkahku terasa ringan sekarang,  setelah aku pikir akulah yang khianat, ternyata di antara kami memang tak ada yang menepatinya. "kita berdua tak ada yang menepatinya, Nichol. "

He's STARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang