21. Yang Datang, yang Hilang.

133 10 0
                                    

Suara kayuhan sepeda milikku terdengar rendah, tanda bahwa aku sedang menunggu seseorang sehingga harus memperlambat kayuhanku.

Saat aku sadar bahwa tidak ada tanda-tanda bahwa dia akan menyusul, dengan cepat aku tolehkan kepala kebelakang. Saat itu pula mataku tepat berpapasan dengan mata hitamnya. "duh kok jadi deg-degan gini ya?" aku menatap stang sepeda cepat, mengalihkan pandangan secepat mungkin.

"Nic, kita kemana sih?" ujarku buka suara, mengalihkan kegugupanku dengan bertanya. "katanya mau ke warung bakso." Balasnya dari belakang.

"gak jadi aja deh, kejauhan soalnya. Gue udah capek.." Aku memandang sebelah kakiku yang bengkak, bekas digigit semut yang tak berperasaan itu. pada semut yang cemburu saat aku dekat dengan Nichol. "duh, tambah bengkak lagi.."

"bentar lagi sampai. Gue lagi pengen makan bakso." Ujarnya mengagetkanku. "katanya tadi terserah gue. tahunya malah lo yang kepengen makan bakso di sana." sahutku cepat. bibirku refleks berkerut, menandakan bila aku sedikit kesal padanya. "dasar gak peka."

Setelah memaksakan kaki untuk mengayuh pedal sepeda demi menuju warung bakso tanah abang, akhirnya kami sampai ke tujuan. Aku melemparkan sepeda cepat, tidak diparkir dengan baik.

"eh..eh!" Nichol memanggilku cepat. "apaan sih?" aku menoleh. "sepeda.. parkir bener-bener!" ujarnya berubah agak garang. "ish!" dengan malas-malasan dan kaki agak pincang-pincangan seperti mengalami kecelakaan parah aku membenarkan sepeda milikku. memarkirnya dengan baik.

"jalannya biasa aja, gak usah kayak korban tabrak lari." Nichol berbisik di sampingku saat kami sedang memesan makanan pada paman bakso.

Aku menggigit bibir kesal, "Paman tambahin pentolnya, nanti dia yang bayar!" ujarku membalasnya dengan memesan porsi super banyak. "terus..terus tambahin lagi. itu itu sekalian siomay nya. Lima. Iya.. lima." Ujarku menunjuk-nunjuk makanan seperti orang yang tidak makan lima hari.

Aku memilih tempat duduk di dekat televisi, supaya bisa menonton acara favoritku. "Paman, ganti dong channel-nya." Ujarku setelah paman itu membawakan pesanan kami kemeja. "ini neng remotnya."

Untung saja aku sudah akrab dengan paman bakso di sini, jadi sedikit bermanja-manja tak apalah. "yes!" aku bersorak cepat ketika program televise yang kutunggu muncul.
"Spongebob?" Nichol menatap layar televise tak percaya. "seru tahu Nic." Aku menyeruput es jerukku cepat. "iya sih, gak heran gue."

Tiba-tiba aku tersadar sesuatu, "eh.. iya. katanya lo mau ngomong kan? Ngomong apa?" tanyaku mengalihkan pandangan pada Nichol. "nih, gue mau ngajakkin lo makan." Balasnya datar.

"gitu doang?" tanyaku tak percaya. "Iya."

Aku manyun, "serius Nic, gue mau tahu." Ujarku mendesaknya. Nichol menghela napas panjang, bersiap untuk berbicara. "e..eh bentar. Gue mau nanya?" aku menghentikannya cepat. ia mengangkat dagunya, memberikan isyarat 'apa'.

"kok... lo gak pakai saya-kamu lagi? lupa atau apa?" aku memperhatikan wajahnya lekat, seperti mengintrogasi tersangka suatu kasus. "atau... lo-gue karena lo udah gaooool! Yoi my broooo!" aku menggerak-gerakan jari tanganku di depannya.

Ia mengatup bibirnya rapat, sebelum akhirnya jitakan keras melayang di dahiku. "iya, gue lupa caranya pakai saya kamu, setelah suara lo terus berngiang-ngiang di kepala gue." ujarnya tanpa neka-neko. Langsung pada intinya.

Aku menyipitkan mata, "maksudnya?" tanyaku tetap tak mengerti.

"gue ngerasa nyaman aja manggil lo gitu. Lagipula anak pecicilan kayak lo gak bakalan cocok di panggil kamu." Balasnya kemudian.

"apaan sih? gue nanya apa dia jawab apa. Gak nyambung. Gue kan nanya...." Nichol menjentik dahiku cepat. "berisik, makan cepat. porsi udah kayak buat lima orang, awas kalau sampai gak habis. Bayar sendiri." ujarnya mengalihkan topik.

He's STARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang