31. Fatamorgana terperih

50 3 0
                                    

Tiba bulan kemudian...

Aku masih duduk mematung di dekat jendela rumah sakit, tetap tak berkutik. Bahkan setiap hari di saat aku tersadar seminggu lalu aku hanya melakukan hal ini. Hanya termenung dan memandang ke luar jendela rumah sakit. Dokter bilang pada Mamah ini adalah pengaruh trauma akibat kecelakaan tiga bulan lalu.

Aku tak banyak bicara, bahkan bisa di bilang sangat jarang sekali. kedua sahabatku yang sering menemaniku hanya bisa memandang penuh prihatin, kadang-kadang bisa kudengar tangis dari Sabila yang bercerita bagaimana suasana di sekolah.

"kemarin Annisa sama Didin dihukum gara-gara ribut di kelas... lo tahu kan mereka gak bisa dipisahin?" ujarnya bercerita. "kalau lo ada mungkin bakalan seru, lo bisa ngompori Annisa lagi. hehehe.."

Aku tak bisa meresponnya cepat. hanya memandangnya datar dan memberikan senyum sedikit. Yah, tak tahu mengapa semua terasa asing bagiku. Tak ada rasa yang bisa kurasakan. Aku nyaris mati tapi hidup, persis seperti apa yang aku tulis di surat, untuknya yang pergi meninggalkanku.

Dokter juga bilang bahwa saat aku mengalami kecelakaan aku kekurangan banyak darah, namun syukurlah darahku tidak terlalu langka, sehingga persedian kantong darah cukup untuk membantuku. Jika tidak mungkin saja kematian sudah menghampiriku. Namun hidup-pun juga terasa percuma, hanya hidup namun mati.

"seseorang kemarin mengirim bunga." Ujar Annisa kepadaku. Aku diam, tak menghiraukannya. "mawar putih." Sambungnya lagi.

Aku terhenyak, hatiku terasa sesak, tiba-tiba saja air mataku jatuh dengan mulusnya. "di..dia datang?" aku membuka suara lirih. Pelan-pelan kulihat wajah kedua sahabatku ini. "hmm.." Annisa terlihat ragu, lebih tepatnya bingung.

Dia benar-benar datang? Apa dia kembali?

Aku bersiap-siap untuk berdiri, namun dengan sigap mereka menahan tubuhku cepat. "Bintang jangan lo harus tetap istirahat." Sabila bersikeras melarangku turun dari kasur.

Aku tak menghiraukannya, namun tetap saja berlalu keluar ruangan. Kulihat sosok itu berdiri di sana, tepat di samping Mamah. "Nichol!" aku berteriak memanggilnya. Ia menoleh kearahku. "Nichol... lo kembali?"

Dengan tergopoh-gopoh aku menghampirinya, sementara Mamah cepat-cepat berlari menghampiriku. "Nak..nak.."

"Nic, lo akhirnya kembali. Tapi... tapi kenapa... kenapa lo ninggalin gue!!" aku mendorong tubuhnya dengan tiba-tiba.

"Bintang Nak... sudah..sudah." Mamah menarik tubuhku cepat, beliau mencoba menenangkanku. "gak Mah, aku harus ngomong sama Nichol. aku harus ngomong sama dia!"

Aku kembali mendekati laki-laki itu, sembari mencoba mencari-cari surat di kantong bajuku. "lho..lho suratnya mana? Perasaan kemarin aku taruh di sini.." aku masih saja sibuk mencari surat itu. "Nichol.. tunggu sebentar ya." aku kembali melanjutkan pencarianku.

"Bintang.." laki-laki itu mendekatiku, ia memegang bahuku erat. Air mata nyaris tumpah dari kelopak matanya. Semua mendadak senyap... hanya isakan kecil yang aku timbulkan, yang kemudian semakin tumpah deras saat mendengar pengakuan dari orang yang kini berdiri di hadapanku "Ini Ayah..."

"Ayah?" aku terhenyak, pelan-pelan aku mendekati Mamah yang kini berdiri tepat di sampingku. "di..dia Nichol kan Mah?" tanyaku sambil menunjuk laki-laki di depanku itu. Mamah menggeleng pelan. "bukan, Nak." Sahutnya pilu. "Mamah jangan bohong.. aku jelas-jelas lihat Nichol... Mamah jangan bohong aku lihat Nichol Mah, aku lihat dia. Aku lihat dia aku lihat!"

Mamah tak kuasa menahan isakan tangisnya. "Nak..." berkali-kali ia menyadarkanku bahwa apa yang aku lihat adalah ilusi semata, aku menciptakan sosoknya untuk menghianati kenyataan bahwa aku sudah ditinggalkan oleh orang yang kucintai.

He's STARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang